Harsa Dan Rasa Sayangnya

293 39 12
                                    

Maaf sempet stuck lama. Padahal sebelumnya ini cerita udah ada gambaran, udah lancar banget kalimat yang ada di otakku. Tapi auto kena writer block

Rumah megah itu kini telah ramai oleh banyak orang yang datang untuk menyampaikan segenap rasa bela sungkawa

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Rumah megah itu kini telah ramai oleh banyak orang yang datang untuk menyampaikan segenap rasa bela sungkawa. Kabar kepergian Raden Cakrawala Gemilang cukup membuat semua orang yang mengenalnya kaget dan turut bersedih. Sosok tangguh itu adalah pribadi yang menyenangkan. Apalagi bagi teman-teman sekolahnya. Mantan wakil OSIS itu mempunyai tempat terindah di hati mereka.

Ada banyak raga dengan tatapan kosong yang ada di sana. Sebuah pukulan terbesar bagi mereka yang menjadikan Cakra sebagai poros hidup. Begitu juga dengan Harsa yang kini setia duduk di samping sahabat terkasihnya yang kini telah berpulang. Matanya memerah. Ada sekat kaca bening yang siap untuk merebak ketika ia berkedip. Kelopak indah itu juga cukup bengkak. Terbukti dari cukup lamanya Harsa menangis.

Mata itu melihat raga tanpa jiwa yang kini tak mampu ia raih. Sosok yang menjadi alasan ia sembuh atas luka yang ditorehkan oleh kedua orang tuanya. Pejaman itu tampak damai. Namun Harsa merasakan sesak yang mendalam.

"Bang ...,"

Si termuda yang duduk di samping Harsa tak tega melihat kehancuran seorang Devano Harsa. Kendati ia pun juga berhak mendapat penopang, namun Nero tak mungkin membiarkan Harsa semakin hancur. Dengan tangan yang terus gemetaran, Nero merengkuh tubuh Harsa. Membiarkan sang sahabat kembali menumpahkan segala sesak yang mengendap lewat isakan lirih.

"Gue benci Cakra, Ro. D-Dia ingkar janji."

Nero diam. Ia membiar gitaris Enheaven itu menumpahkan segala sesak yang membelenggu. Untuk saat ini, kata-kata darinya tak akan cukup untuk menenangkan Harsa. Hanya pelukan dan usapan hangat di punggung yang mampu Nero berikan.

"Harsa?"

***

"Harsa? Sa? Hei??"

Mata Harsa terbuka lebar. Napasnya memburu sangat cepat. Peluh pun membasahi sekujur tubuhnya. Rasa lelah itu menghadang, seolah ia baru saja berlari puluhan kilometer. Begitu kesadarannya kembali ia raih, sosok yang membuatnya kalut setengah mati ada di sampingnya. Sosok itu kini menatapnya dengan raut wajah khawatir.

"Cakra? Lo di sini? Masih di sini?"

Sosok sahabat yang menjadi sumber kekalutan mengerutkan keningnya bingung untuk beberapa saat. Hingga akhirnya Cakra menyadari bahwa sahabatnya ternyata baru saja bermimpi buruk.

"Iya, gue masih di sini. Tenang, gue nggak akan pergi."

'Seenggaknya sampai semua orang yang gue sayang, termasuk lo bisa ikhlas.'

Cakra menyunggingkan senyum tipisnya. Cukup paham bagaimana rasa takut itu membelenggu sang sahabat. Ia teramat bahagia mendapat kasih sayang tak terbatas dari Harsa. Namun di sisi lain ia juga takut. Cakra takut menjadi trauma baru bagi Harsa saat ia pergi kelak.

"Syukur cuman mimpi. Gue takut banget."

Harsa meraih tubuh sahabatnya ke dalam rengkuhan hangat. Sempat menegang saat merasakan hawa panas di tubuh Cakra yang menyapa kulitnya.

"Makanya, main basketnya jangan jangan kelamaan. Lo jadi ketiduran. Nggak sempet baca doa, kan?"

Mendengar ucapan Cakra membuat Harsa melepas kembali pelukannya. Ingatannya kembali dipaksa mundur di mana Cakra yang membicarakan tentang kematian dan nasib Enheaven ke depannya. Demi apa pun, ia membenci ucapan melantur itu. Namun terlalu takut untuk mengungkit.

"Bang, udah pagi."

Si termuda muncul dari balik pintu kamar Cakra. Terlihat wajah khas bangun tidur Nero yang terlukis. Kedua sahabatnya memang memutuskan untuk menginap setelah kabar menyakitkan yang diungkapkan dokter kemarin. Rasanya keduanya tak rela berada jauh dari sisi Cakra. Osean sendiri terpaksa harus pulang karena sang mama yang sendirian di rumah.

"Salat dulu kalian. Gue mau ke belakang rumah dulu."

Setelahnya Nero meninggalkan Cakra dan Harsa. Hampir saja keduanya melupakan kewajiban mereka untuk menunaikan salat subuh. Dalam quality time mereka pada Sang Pencipta, keduanya sama-sama berdoa atas hidup mereka. Harsa yang tentu saja merayu Tuhan agar tak merenggut sang sahabat dari sisinya. Dan Cakra yang menyerahkan segalanya dengan pasrah.

'Ya Allah, jika memang atas kehendak-Mu, aku pulang, tolong berikanlah keikhlasan untuk mereka.'

***

Abimana sadar. Sejak tumbangnya sang adik beberapa waktu lalu, semua terasa berbeda. Vonis baru itu membuat mereka selalu diselimuti oleh ketakutan. Apalagi ketika melihat intensitas kesakitan Cakra yang sang adik coba sembunyikan.

Cakrawala tetaplah adiknya yang tak akan sudi memperlihatkan sisi rapuhnya. Dan Abimana membenci sifat Cakra yang satu ini. Ia melihat dari balik pintu, di mana Cakra kembali merintih kesakitan. Bahkan sesekali tangan itu memukul kasar sumber rasa sakitnya. Suaranya kentara sekali tengah ia tahan. Punggung ringkih itu gemetaran, menunjukkan betapa sakit itu menyiksa tubuhnya.

Tak tahan melihat adiknya yang terus kesakitan, Abimana melangkah cepat membantu Cakra. Bahkan Abimana yakin tenaga Cakra tak cukup kuat untuk meraih obat.

"Cak, bentar lagi sakitnya ilang."

Abimana meraih 2 tabung obat di atas nakas. Tak ada pilihan lain selain memasukkan paksa 2 pil obat itu. Bahkan Cakra sempat ingin memuntahkan. Dan beruntung sang kakak segera memberikan air putih. Detik semakin berlalu, Abimana lega melihat adiknya kembali tenang meski mata itu kini memancarkan kekosongan.

"Bang ...,"

Cakra memanggil kakaknya dengan suara lirih tanpa mengalihkan pandangannya dari plafon kamarnya. Ada satu pemikiran yang kini ada di otaknya. Dan Cakra yakin jika ia mengungkapkan pada seluruh keluarganya, mereka akan menentang.

"Kenapa? Masih sakit?"

Abimana mengusap-usap lembut dada sang adik yang menjadi pusat rasa sakit itu. Entah kenapa jantungnya mendadak berdetak dua kali lebih cepat.

"Gue mau *DNR."

Dan usapan itu terhenti seketika. Matanya membola seketika diiringi dengan sengatan tak kasatmata yang mendera hati. Bertahun-tahun merawat Cakra yang memiliki sakit keras membuatnya tahu banyak istilah medis. Dan Abimana tahu arti DNR yang diucapkan Cakra.

"Cakrawala? Apa secapek itu?"

Tbc

Foot note: DNR (Do Not Resuscitate) adalah perintah medis yang menyatakan bahwa pasien atau orang lain tidak ingin dilakukan resusitasi jantung paru (CPR) jika terjadi henti jantung atau henti napas. Dan pasien yang memilih DNR akan diberi gelang warna ungu

Bumantara Berkabut Nestapa [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang