Kepergiannya Meninggalkan Trauma

349 41 9
                                    

Nyatanya Cakra merasa hidupnya semakin terkikis oleh waktu. Air mata cowok itu seolah mengering karena telah terlalu lama menangis. Dalam baringnya, Cakra membayangkan akan seperti apa mereka yang nantinya ia tinggalkan.

Di sela rasa sakit yang menghujamnya sejak tadi, matanya berpendar ke segala arah. Ada banyak beban yang berkecampuk. Salah satunya tentang pengakuan Jasmin ketika cewek itu datang menjenguknya. Cakra mendengarnya. Ia tak benar-benar tidur karena masih merasakan sakit di tubuhnya.

Aku juga cinta Kakak. Maaf udah plin-plan.

Entah bagaimana ia harus menanggapi pernyataan Jasmin kemarin. Cintanya ternyata bersambut. Namun keteguhannya akan taat akan larangan Tuhan membuatnya harus lebih kuat mematikan bunga-bunga yang kembali tumbuh dengan subur. Selain itu ada benteng yang tinggi yang menjadi penghalang baginya dan Jasmin. Belum lagi ia merasa waktu untuknya yang kian menipis.

"B-Bang,"

Cakra berusaha menarik napasnya dalam seiring dengan pasokan oksigen yang kian menipis. Rasanya sesak luar biasa. Belum lagi rasa pening itu tak kunjung lenyap, justru kini semakin kuat menyiksanya. Matanya menatap si sulung terlelap di sebelahnya. Tak tega rasanya mengganggu tidur sang kakak.

Aku harus gimana, Ma? Aku nggak mau adek aku mati!

Cak, lo harus bertahan. Ada kami yang menggantungkan hidup sama lo.

Kak Cakra, gue sayang lo. Berjuang sekali lagi buat sembuh ya.

Cak, gue bakal nyusul lo kalau lo milih nyerah.

Bang, lo pengin Enheaven terkenal dan bisa go internasional, kan? Makanya jangan nyerah, ya?

Cakra menepuk-nepuk pelan dadanya. Kalimat-kalimat dari semua orang yang menyayanginya kembali berputar di otaknya. Membuat napasnya semakin tersengal. Suara napas Cakra yang memburu akhirnya berhasil membuat lelap Abimana berakhir. Mata sulung dari 3 bersaudara itu sontak membulat ketika melihat adik tengahnya kepayahan mengatasi rasa sakitnya.

"Cakrawala, tenang. Ada Abang!"

Abimana dilanda kepanikan hingga otaknya mendadak buntu, tak tahu harus melakukan apa. Padahal dokter telah mengajarinya cara memasangkan tabung oksigen portabel pada seluruh keluarganya. Pada akhirnya ia hanya memeluk sang adik sembari bibirnya berteriak cukup keras memanggil seluruh anggota keluarganya.

"B-Bang," Cakra mencengkeram kemeja belakang Abimana dengan erat, "m-mau DNR."

Abimana mendengarnya. Awalnya ia berusaha mengabaikan. Namun melihat sang adik yang semakin tersengal dengan wajah dipenuhi oleh peluh membuatnya mau tak mau mengangguk sekenanya.

Bersamaan ucapan Cakra, seluruh keluarganya datang. Mereka sontak dilanda panik. Sang kepala keluarga yang berusaha menggenggam akal sehatnya berusaha untuk tenang. Pria itu segera menggendong tubuh kurus si tengah. Waktu telah menunjukkan tengah malam. Namun mereka tak peduli. Keselamatan Cakralah yang paling penting.

"Ma, tenang. Kita otw ke rumah sakit."

Gentala mengusap bahu Airin yang gemetaran, sembari jemarinya menekan layar ponsel demi menghubungi 3 sahabat Cakra.

***

"Untung aja nggak sampai gagal napas, Pak, Bu."

Dokter Doni namanya. Pria itu melihat beberapa pasang mata yang tampak kacau.

"Keadaannya udah lebih stabil. Udah bisa dijenguk. Kalau gitu saya--"

"Dok, adik saya mau DNR. Dan kami setuju."

Abimana membuka suara sebelum Donter Doni menyelesaikan ucapannya. Ucapannya berhasil membuat mereka di sana bungkam.

Tentang permintaan Cakra masih mereka ingat. Airin kembali terisak pelan di dalam pelukan sang suami. Kata ikhlas itu terasa sulit mereka genggam. Namun membiarkan Cakra hidup dalam sakit yang telah bertahun-tahun ia pikul pun tak sanggup.

Bumantara Berkabut Nestapa [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang