Mohon baca sampai author note ya. Penting soalnya ❣️
Suasana di ruang makan masih sunyi. Hanya Airin dan Asisten Rumah Tangganya yang sibuk menghidangkan beberapa menu untuk makan pagi suami dan anak-anaknya. Waktu memang telah menunjukkan pukul 6.30 pagi. Ada nasi goreng untuk suami, Abimana, dan Gentala, ada pula salmon mayo dan bayam rebus untuk Cakra.
"Wah, keliatannya enak, Ma?"
Si bungsulah yang pertama kali duduk manis di meja makan. Lantas disusul sang suami. Gentala telah rapi dengan seragam SMA yang membungkus tubuhnya. Airin mengusap helaian rambut Gentala, disusul dengan kecupan lembut di kening Danu.
"Dek, panggil kakak kamu coba," titah Airin, "kalau abang kamu jangan dibangunin. Dia abis begadang ngerjain tugas."
Gentala memberi gestur okey pada mama tercintanya. Langkahnya cukup bersemangat menuju ke arah kamar Cakra. Agak mengherankan juga karena biasanya sang kakak yang lebih dulu keluar dari kamar.
Begitu ia sampai di depan pintu kamar Cakra, tangan cowok itu terulur untuk membukanya. Cukup mudah baginya karena seluruh keluarganya melarang kakaknya mengunci kamar. Senyum itu masih terlukis di bibir Gentala sebelum akhirnya tergantikan oleh raut wajah cemas.
Kakinya dibawa melangkah cepat mendekati sang kakak yang sepertinya telah kehilangan kesadaran. Hati Gentala mencelos saat melihat wajah sang kakak pucat pasi. Bahkan bibir Cakra terdapat darah yang telah mengering.
"PAPA! MAMA! BANG ABI! TOLONG!"
Gentala membawa tubuh kakaknya ke dalam rengkuhannya. Menangis dari balik punggung kakaknya. Demi apa pun ia takut karena Cakra dalam dekapannya terasa dingin. Ia yakin kakaknya telah menahan rasa sakitnya sejak semalam hingga akhirnya berakhir pingsan.
Suara langkah terburu-buru menuju ke kamar Cakra membuat hati Gentala sedikit lebih tenang. Sosok sang Airin dan Danulah yang pertama kali datang, diikuti Abimana yang tampak masih berwajah bantal. Keduanya semakin panik melihat tubuh dalam dekapan Gentala yang semakin terlihat ringkih.
"Nak, kenapa bisa kayak gini?" Airin mengecup kening Cakra dengan lembut.
Hati ibu mana pun pasti akan terluka mendapati buah hatinya harus menjalani cobaan seberat ini. Melihat Cakra sakit seperti ini seolah membuat Airin kehilangan separuh jiwanya.
"Dek, tenang. Kakak kamu pasti baik-baik aja," Danu meraih tubuh si tengah ke dalam gendongannya, "Abi, siapin mobil kita!"
Abimana mengangguk paham. Cowok itu lantas berlari ke arah garasi rumahnya. Sedangkan Danu langsung berlari dengan membawa Cakra yang ada dalam gendongannya.
"Mama, jangan nangis."
Airin mengangguk lemah. Meski tenaganya seolah terkuras habis, namun wanita itu tetap memaksakan langkahnya mengikuti sang suami dan anak sulungnya. Gentala pun setia menggenggam jemari Airin.
***
Cakra kembali harus terbarung rapuh di dalam ruang ICU. Tempat yang selayaknya rumah kedua untuk cowok itu. Sudah tak terhitung tubuh itu harus disuntik sana sini. Di samping Cakra ada si sulung yang telah memakai pakaian steril yang diberikan pihak rumah sakit. Rasa kantuknya lenyap kala sosok yang begitu ia jaga hampir seumur hidupnya kembali harus kolaps.
"Kamu tuh nggak ngerepotin, Cakrawala. Mama tuh sayang banget sama kamu."
Abimana tentu tahu perasaan Cakra yang berusaha adiknya itu sembunyikan. Pribadi yang peka terhadap orang-orang di sekelilingnya tentu membuat Abimana memahami perasaan Cakra. Apalagi saat Airin tanpa sadar menyebut kata repot saat menasehati Cakra.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bumantara Berkabut Nestapa [END]
Novela Juvenil"Cak, nggak capek pura-pura bahagia?" Dalam hidupnya, Cakrawala hidup bagai tanpa beban. Punya keluarga yang menyayanginya, sahabat yang selalu ada untuknya, dan kekayaan yang melimpah. Namun setiap makhluk Tuhan tak pernah menggenggam kesempurnaan...