Penyesalan Osean

645 53 31
                                    

"Jangan bercanda, Dokter. Anak saya udah sembuh total!"

Badai itu datang lagi. Secercah cahaya itu hilang dan tergantikan oleh awan mendung. Airin menangis dalam pelukan Danu. Kabar yang disampaikan sang dokter lewat surat laporan kesehatan Cakra keluar. Dan hasilnya membuat sepasang suami istri itu hancur.

Sang putra yang tiba-tiba pingsan padahal tak melakukan aktivitas berat membuat Airin dan Danu kalang kabut. Kejadian ini terakhir mereka alami setahun lalu ketika Cakra masih berjuang melawan kanker hati. Rasa takut itu kembali membalut hati keduanya. Dan kini ketakutan itu menjadi kenyataan.

"Maaf, Pak, Bu. Sel kanker itu memang sudah hilang. Tapi akibat dari pengobatan kemoterapi yang dijalani Cakra, timbul penyakit baru. Dan kali ini sulit untuk disembuhkan. Seperti yang tertera dalam surat yang Ibu pegang. Anak Anda mengidap penyakit Anemia Aplastik."

Dua tahun memperjuangkan kesembuhan si tengah nyatanya sia-sia bagi sepasang suami istri itu. Cakra hanya terbebas dari rasa sakit satu tahun. Dan kini, sakit itu kembali dipikul sang putra. Cakra hanyalah anak 12 tahun yang ingin hidup normal. Namun kini bocah itu kembali harus dipaksa berjuang.

Melihat Airin dan Danu membuat sang dokter ikut merasa teriris hatinya. Biar bagaimana pun, dirinyalah saksi perjuangan bocah hebat itu selama kanker hati itu bersarang.

"Ada beberapa pengobatan rutin, Pak, Bu. Transfusi darah, imunosupresan, yakni pemberian obat seperti ciclosporin secara rutin. Atau operasi transplantasi sumsum tulang belakang."

Airin bahkan tak fokus mendengar ucapan sang dokter. Dalam benaknya diisi oleh ketakutan akan kehilangan. Ia takut Cakra akan pulang seperti mendiang ibunya. Beruntung Danu masih bertahan menjaga kewarasannya demi mendengar setiap setiap tutur kata dokter.

***

Nero menajamkan penglihatannya begitu melihat sosok yang sejak beberapa hari ini telah membuat kekacauan. Ia baru saja ingin bersiap melayangkan tinjuan jika saja tak dihentikan Viola. Menghadapi sang putra yang sulit mengontrol emosinya perlu dengan kesabaran ekstra. Sifat itu turun dari mendiang sang suami.

"G-Guys, gimana Cakra?"

"Nggak usah sok peduli."

Bukan Nero yang menjawab, tapi Harsa yang kini melangkah pelan menghampiri Osean. Rasa sesak itu selalu hadir saat mengingat Osean yang kini telah berubah. Bagaimana sosok di depannya ini yang lebih mengutamakan orang baru dibanding sahabatnya sendiri.

"Sa, maafin gue. Gue--"

"Cakra sempet henti jantung."

Cairan bening itu lolos lagi, berderai di pipi Harsa saat mengingat ucapan Gentala yang mengatakan bahwa mereka hampir kehilangan Cakra.

"A-Apa?"

Kedua tangan Osean bergetar. Ucapan Harsa semakin membuat penyesalan itu kian erat memeluk hatinya. Osean menyesal karena belakangan ini tak peka pada keadaan sang sahabat.

"Pergi sekarang Osean Mahendra. Urus aja Jasmin lo. Cakra biar gue sama Nero yang jaga. Urus kesayangan lo itu."

Osean menggeleng ribut. Ia tak mau pergi dari rumah sakit sebelum memastikan Cakra membaik. Cowok itu bergeming sekalipun telah diusir oleh Harsa.

"Nggak, Sa. Gue juga sahabat Cakra. Gue berhak tahu keadaan Cakra."

Nero menegakkan tubuhnya. Mendengar kalimat Osean membuat si termuda muak. Cowok itu acuh saat Viola berusaha menahannya. Setiap ia melangkah, rasanya terlalu sulit. Tenaganya telah terkuras habis. Namun kehadiran Osean telah memupuk rasa geram dalam hati.

Bumantara Berkabut Nestapa [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang