Cakrawala Itu Kuat

768 46 12
                                    

"Papa kan udah bilang Raden Cakrawala Gemilang. Jangan terlalu capek. Apalagi kamu jadi panitia MPLS 3 hari."

"Bahkan kamu jadi wakil ketua OSIS aja Mama nggak setuju."

Begitu mata itu terbuka, telinganya harus menerima ceramah seperti biasa dari semua anggota keluarganya. Ada Mamanya yang berkacak pinggang menatap galak ke arahnya. Ada sang kepala keluarga yang bersidekap dada dengan pandangan tajam. Ada pula si bungsu Gentala yang masih menangis dalam diam. Di sisi kanannya ada si sulung Abimana yang masih setia menggenggam tangannya tanpa berniat membuka suara.

"Cakra kan baru bangun. Jangan dimarahin atuh."

Cakra menatap malas pada mereka. Sebenarnya pingsannya ini bukan kali pertama. Tapi sudah sering terjadi jika ia terlalu keras memforsir tenaganya. Apalagi ia lebih banyak beraktivitas di bawah terik matahari selama 3 hari kemarin.

"Biarin. Kamu itu bandel banget dibilangin."

Cakra mendudukkan tubuhnya dengan perlahan dibantu oleh Abimana. Matanya terpejam sesaat karena rasa pusing itu datang walau sesaat, hal ini terjadi setiap kali ia bangun setelah lama berbaring. Kini yang tersisa hanyalah rasa lemas di sekujur tubuhnya.

"Ma, aku kan wakil ketua OSIS. Masa Cakra nggak ikut--"

"Bisa. Osean sendiri kan bilang, kamu nggak ikut nggak apa-apa."

Ibu mana pun tak akan kuat melihat anaknya kesakitan. Meski ini bukan kali pertama Cakra kesakitan, nyatanya Airin tak pernah terbiasa. Putra tengahnya ini memang sudah sakit sejak kecil. Itulah sebabnya Airin dan yang lainnya selalu berusaha membatasi aktivitas Cakra. Dan sikap over protective keluarganya ini terkadang membuat Cakra jengah.

Cakra diam. Cowok itu menundukkan kepalanya. Ia bahagia mendapatkan afeksi yang begitu besar dari keluarga. Namun ia seolah terkurung dalam sangkar emas.

"Apa kamu mau ngelihat keluarga kamu sedih? Lihat mama sama Gentala. Sampai nangis."

Sang kepala keluarga kembali angkat bicara. Jika sudah begini, Danu terpaksa membuat si tengah merasakan perasaan tak tega. Dan cara ini selalu berhasil.

"Maaf, lain kali nggak akan gini."

Cowok itu merentangkan tangannya, gestur meminta pelukan Airin yang langsung disambut hangat oleh wanita itu. Sedikit mencelos saat menyadari tubuh sang putra agak panas.

"Kamu ngundurin diri ya, Nak? Mau kan?"

Cakra memejamkan matanya saat suara Airin kembali menyapa gendang telinganya. Permintaan sang mama ini sudah beberapa kali ia dengar. Tapi cowok itu selalu abai. Namun begitu melihat keadaan sang mama yang masih menangis, Cakra tak tega.

"Ma, kasih waktu satu bulan. Nanti Cakra bakal bilang ke Osean."

Cakra ingin bebas. Namun keadaan yang terus membatasi. Sejak kecil ia harus memeluk rasa sakit, dunia seolah jahat padanya. Tak memberinya kesempatan merasakan apa yang selama ini manusia lain rasakan.

"Ma, Cakra mau istirahat. Biar Abi yang jagain. Kalian keluar aja."

Si sulung yang sejak tadi bungkam pun membuka suara. Ia tak tega juga melihat papa dan mamanya mengomeli sang adik. Sebagai seorang kakak, ia memahami perasaan setiap adiknya.

"Nanti waktunya minum obat ingetin ya, Nak."

Selepas mendapat anggukan mantap dari Abimana, sepasang suami istri itu meninggalkan ketiga putranya. Kini kamar itu diisi oleh keheningan. Gentala yang sejak tadi terisak pun mulai mendekati si tengah. Cowok itu masih syok saat Cakra pingsan di depan matanya sendiri. Dengan lembut, Gentala mengusap punggung rapuh itu.

Bumantara Berkabut Nestapa [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang