10 = Telpon dari Ocid

107 7 24
                                    

Update! Ayo baca. Silahkan komen biar interaksi kita tercipta. Ea. Saya menunggu nih. Hha.

Ocid is calling

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Ocid is calling ...

"Kenapa, Cid?" tanya Maher saat gawai itu belum sempurna menempel di telinganya.

"Gantiin gue."

"Ogah."

"Plis lah cog. Ni gue lagi di kampung bibi gue meninggalss."

"Belasungkawa, Cid." Maher memindah telponnya ke sebelah kiri. "Tapi gue lagi gak ada kelas hari ini, mau sibuk push rank dulu."

"Kurang asem lo ya! Lagian Masih betah aja lo jadi bocil kematian ngegame segala. Mainin cewe kek sekali-kali."

"Mamak kao ku mainin, mau?"

"Jadi bagong kao besoknya!"

"This is my enjoy life, Cid. You never know. Gak ngegame gak nafas gue."

"Enjoy life gigi lo kayang! Udah lah, berangkat buruan gantiin gue, tu anak-anak udah pada nungguin di studio. Gue udah konfirm lo yang gantiin gue. Dan sialnya mereka malah seneng gue absen asu emang! Syuting gak bisa di tunda. Titik."

"Maksa sekali jingan!"

"Iya sama-sama, TUMAN."

Tut.

"Brengsek."

"Kayanya ada yang baru dapat duit segepok nih," tegur Didi, pada wajah kusustnya Maher yang baru menyelesaikan makan siangnya di dapur.

"Umur lo gue gepok," sahutnya dengan sorot tajam.

Decitan kursi terdengar tidak santai saat Maher berdiri setengah kesal menuju westafel sambil membawa piringnya.

"Sensi banget anak gadis," gumam Didi memutar bola mata jengah, lalu menyendok lauk yang sudah di sediakan Miqdad sebelum ia berangkat kelas pagi.

"Siapa anak gadis?" tanya Yafi yang baru nimbrung di meja makan, mengupas buah rambutan, yang kemaren jadi oleh-oleh Junot saat ia menemani Miqdad ke pasar sayur.

Didi mengarahkan dagunya ke arah westafel itu. "Itu, Mario boros."

Yafi mengikuti arah pandang Didi, meskipun hanya terlihat dari samping wajah Maher, tapi Yadi sudah yakin, Maher sedang mendumal sebal, namun Yafi sudah memaklumi. Maher memang suka mendumal jika rencananya tak berjalan selurus rambut Titi kamal.

"Kok Rafi ahmad takut sama rambutan, ya?" celetuk Didi sembari mengunyah, sambil pandang keranjang berisi merahnya rambutan di atas meja depan Yafi.

"Au dah. Tanyain sus Rini mending."

Didi menatap Yafi sangat flat. "Semakin yakin gue, matpel akhlak di raport lo sengaja lo tip-x in."

Yafi meneguk air putihnya. "Iya dah. Biar lo seneng."

After HomeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang