Part 5 | River of Salvation

3.5K 557 299
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.










AIR susu dibalas dengan air comberan.

Dari kasihan sampai geregetan, sedih sampai mendidih, harus aku akui bakat nuyul Kadewa berada di level yang berbeda. Entah kapan dan bagaimana taktiknya, tahu-tahu aku disuguhi hasilnya.

Pelototanku masih tertuju pada plastik makanan pemberian Kadewa.

Sesal dominan mendominasi setelah membaik-baiki bocah tengil itu. Kini, aku jengkel setengah mati mendapati bukti kenakalan yang lagi-lagi lolos dari pengawasan.

Bocah itu tengah menuntaskan hukuman membersihkan toilet usai kelas berakhir. Aku yang diberi amanah oleh guru BK untuk memastikan undangan wali murid sampai ke tangan orang tua Kadewa, nggak punya pilihan selain menunggu di depan warung Ibu Sulis yang sudah tutup.

"Kok bisa dia kelihatan ngambil empat gorengan, tapi aslinya lima?" gumamku tak habis pikir.

Jelas-jelas aku melihat sendiri Kadewa mengambil empat gorengan. Diselipkan di mana satu gorengan colongannya? Dia ini sejenis makhluk jadi-jadian yang punya kantong malingkah?

Perhatianku bergeser sewaktu tawa familier lepas. Di bawah gerimis, Kadewa tampak tergelak bersama sosok lelaki asing di depan gerbang sekolah. Kepalanya terdongak penuh, dua sudut bibirnya tertarik lebar, bahkan tubuhnya bergetar kegelian.

Hujan rintik-rintik memotret jiwa kanak-kanaknya secara sempurna.

Aku berhenti mendumal. Rupanya Kadewa sudah selesai. Aku mengamati dari sini tanpa berniat menghampiri.

Nggak ada satu pun jejak kesedihan di wajah itu. Entah ke mana sesenggukannya, padahal Kadewa habis menangis lama di UKS. Senyumnya terukir secerah biasa. Tawanya juga.

Apa yang dimiliki Kadewa adalah gambaran dari sesuatu yang nggak lagi aku miliki. Kebebasan. Keceriaan. Kadewa membuat bahagia terkesan mudah dilakukan.

Itu adalah kali pertama aku merasa kagum sekaligus kesal pada seseorang.

"Yaya...." Kadewa melambai semangat.

Ia menepuk pundak laki-laki di sampingnya untuk mengatakan sesuatu. Entah apa, tapi Kadewa kelihatan tersentak. Selang beberapa detik, pekikannya terdengar. Kadewa mengibaskan tangan lalu lari kalang kabut menghampiriku.

"Yaya, lariii...! Ada orang gilaaaa...."

Hah?

Aku melesat dari posisi jongkok. Maksudnya?

"Buruan lari, Yayaaaa! Hiii... orang gilanya ngejaaaar...."

Sejenak pikiranku blank. Sebentar, sebentar. Orang gila? Maksudnya laki-laki yang tertawa bersama Kadewa? Kukira mereka saling kenal?

Tarikan kuat di pergelangan tangan menyentakku. Tanpa aba-aba, Kadewa menyeretku berlari. Berani bersumpah ini kali pertama aku gagal mengontrol ekspresi.

XOXO, Love You LaterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang