Part 32 | Lantern of the Abyss

3K 720 438
                                    





🚝 Minta 420 komentar untuk bab ini ya 🚝





Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.














PEOPLE tell you who they are, but you ignore it because deep down, you want them to be who you want.

Aku mengerti aturan mainnya sejak awal. Siapa dan bagaimana Kadewa, aku bukan lagi gadis lugu yang buta mengenai lelaki. Papaku adalah pelajaran terbesar. Namun dasar hati sialan, tetap saja aku terlena. Mengabaikan teriakan logika dan terjatuh dalam muslihatnya.

Bukan Kadewa yang terlalu pintar, akulah yang bodoh di sini.

Dua belas jam berlalu tanpa tidur. Mataku panas setiap kali mencoba terpejam. Dadaku sesak. Aku harap bisa menangis meraung-raung, tapi air mata itu menolak turun.

Bisakah aku memohon pada Tuhan agar kematianku dipercepat saja?

"Meow."

Sesuatu melilit pergelangan kaki. Bulu halusnya mengusap naik-turun seakan berusaha menenangkan pikiran kacau.

"Meow."

Aku menunduk. Mata hitam Yaya balas memandangku polos. Kucing kecil itu tak henti menggesekkan badan.

Saat itu juga tanggul emosiku runtuh. Aku jatuh terduduk di kaki tempat tidur. Menangis.

"I'm sorry. Lo bener, kalau gue nggak ada siapa yang ngasih makan lo?" Aku tersedak tangis. "Cukup dunia aja yang kejam ke gue, jangan ke lo."

Kucing kecil itu diam saat aku memeluknya. Bulunya basah oleh air mata, dia justru menjilati tetesan yang lolos ke tanganku.

Aku tergugu.

Kenapa dari sekian banyak alasan untuk tetap hidup, kucing pemberian Kadewa-lah pemengaruh paling hebat? Seharusnya aku juga membencinya, kenapa aku nggak bisa melakukannya?

Aku menyeret langkah ke luar kamar. Menyalakan automatic pet feeder, mengganti pasir lama dengan pasir baru, dan menyaksikan Yaya makan. Namun alih-alih memakan makanannya, makhluk berbulu itu justru memakan pasir. Kucing bloon.

Aku tertawa di antara linangan air mata. "Yaya, harusnya ini yang dimakan. Pasirnya buat pup. Bapak lo udah ngajarin, kan?"

Aku ingat bagaimana Kadewa berkali-kali menepak kepala Yaya sewaktu mengajarinya beradaptasi. Kucing kecil itu pasti akan membalas dengan mengeong protes lalu memakan pasir lagi. Kemudian dengan kesabaran setipis tisu, Kadewa akan mengomeli Yaya tanpa henti.

A man and a kitten argue with their own language. Aku biasanya menonton dengan tawa tertahan.

Air mataku menderas menyadari semuanya tinggal memori. Helm yang Kadewa belikan untukku teronggok di atas rak sepatu. Stok makanan ringan yang ia belikan, piring yang sengaja ia bawa dari apartemennya untuk makan bersama, kostum konyol yang pernah ia kenakan... semuanya masih ada. Hanya Kadewa yang nggak ada.

XOXO, Love You LaterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang