Part 13 | Scorched Redemption

4.1K 656 320
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.













APA yang terjadi setelah aku pindah ke Italia, aku sama sekali nggak mengetahuinya. Bertahun-tahun putus komunikasi dengan teman lama, pertemuan dengan Fathan pun terjadi secara nggak sengaja, bukan karena aku yang mencari kabarnya.

Pernyataan Kadewa membuatku terperangah.

"Bully verbal parah? Fobia nasi? Maksud lo apa, Kadewa?" Aku sama sekali tak mengerti. "Ya, gue emang jadiin lo bahan taruhan, tapi akhirnya nggak dilanjutin karena...." Bibirku langsung terkatup.

Cahaya subuh menjadi permulaan pagi di ufuk timur. Hari telah berganti, tapi aku masih nggak mampu merangkum masa lalu dengan kata-kata. Terlalu berat. Terlalu sakit.

Sekuat tenaga, aku mengepalkan tangan di atas pangkuan agar Kadewa nggak tahu betapa terguncangnya aku. Paru-paruku serasa ditusuk belati.

Kadewa berdecak. "Lo nanya karena beneran nggak tahu atau pura-pura bego, Zaviya?"

"Gue...." Sengatan perih menyumpal tenggorokan. "Gue... gue nggak tahu... makanya lo jelasin, Kadewa."

Kami berpisah hampir dua puluh tahun. Jarak antara Italia dan Indonesia juga bukan sejengkal. Nggak mungkin dia berharap aku akan mengerti dengan sendirinya ketika hidupku saja penuh masalah.

Aku menarik napas panjang, mencoba mengontrol reaksi. "Kehidupan gue juga nggak sebahagia yang lo pikir, Ka...."

Di tengah kalimat, mendadak saja aku terhenti ketika Kadewa menunjukkan raut apatis. Ada alasan kenapa orang nggak suka menjelaskan tentang dirinya kepada orang lain, salah satunya yakni tanggapan sang lawan bicara.

Secara otomatis, aku diam ketika Kadewa memilih berpegang pada asumsinya.

"Nggak bahagia? Gue lihat lo ketawa sambil peluk-peluk Fathan... itu definisi nggak bahagia?" Ia tersenyum mengejek. "Gue nggak percaya seorang Zaviya sama sekali nggak tahu apa pun, waktu lo sendiri pacarin cowok yang nyebarin kabar ke seantero sekolah dulu kalau Zaviya cuma jadiin gue bahan taruhan. Baik lo maupun Fathan sama berengseknya, Ya."

Orang-orang hanya peduli pada luka yang mereka punya, pada apa yang membuat mereka sakit.

Tapi, mereka nggak peduli alasan di baliknya atau kenapa luka itu sampai ada.

"Ya, gue emang berengsek." Aku tersenyum lemah, menerima luapan kemarahannya. "Cuma lo yang menderita di sini, Kadewa. Gue sama Fathan baik-baik aja waktu lo nangis darah. Hidup kami full hura-hura. Nggak ada beban sama sekali."

Itu kan yang ingin Kadewa dengar?

Aku menambahkan, "Salah lo jadi orang terlalu polos. Porsi sakit hati yang lo dapetin jelas gede. Kasihan banget, ya. Mau gue bikinin banner biar simpati orang berdatangan?"

Kadewa nggak menginginkan penjelasan. Dia hanya ingin menghakimi. Aku lelah menghadapi orang seperti ini. Terlalu fokus dengan lukanya sendiri sampai menutup telinga. Beragam penjelasan hanya dianggap sebatas pembelaan diri.

XOXO, Love You LaterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang