Part 17 | Heat of Animosity

4.5K 680 408
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.














SATU kata untuk Kadewa, bajingan!

Nggak terhitung berapa serapahan yang aku alamatkan pada nama itu selepas dia mengendurkan rengkuhan. Ketukan konstan di pintu toilet membuat lututku gemetar. Tatapanku nyalang ingin menghajar seseorang.

"Yaya, lo di dalem? Pintu toiletnya macet atau gimana?" Fathan memutar handel yang terkunci. "Gue bantu dobrakin, lo minggir dulu, Ya."

Kadewa hendak membuka mulut, namun aku buru-buru membekapnya.

"Nggak macet, Than. Sengaja gue kunci karena nggak pengin diganggu bentar," balasku cepat. "Tunggu. Nanti gue keluar."

Jeda lima detik yang menegangkan.

"Oke. Kirain kekunci di dalem, Ya. Banyak pengunjung yang lapor nggak bisa pake toilet ini soalnya. Ya udah, take your time, Yaya."

Napasku terembus lega. Rasanya seperti hampir ketahuan berselingkuh. Aku merasa tak ubahnya sampah. Sampah pengkhianat seperti papaku. Terima kasih kepada Kadewa yang telah membuatku merasa begitu.

Di bawah bekapan tangan, laki-laki yang aku maksudkan tersenyum lebar.

"Puas lo, hah?" bisikku dengan bibir terkatup. "Diem di sini. Urusan kita belum kelar."

Aku ingin mencekik Kadewa, sungguh. Melumatnya jadi bubur, menginjaknya, dan mengumpankan tulang-tulangnya ke kandang singa. Marah bahkan kata yang terlalu meremehkan. Aku murka.

Kadewa menjauhkan tanganku dari wajahnya.

"Rambut lo berantakan, Zaviya." Nggak ada takut-takutnya, Kadewa lancang menyelipkan rambutku ke belakang telinga. "You look like a girl who just got fucked."

"Go hell!" Gulungan emosi nyaris menghancurkan kendali diri. Aku beranjak menjauhi Kadewa sebelum tergerak mengasarinya.

Laki-laki ini makhluk paling menjengkelkan yang pernah kutemui. Akan jadi bumerang bagi diri sendiri kalau aku sampai melakukan tindak kekerasan terhadapnya.

Sisi rasionalku berusaha menengahi amarah yang berkobar. Aku menarik napas dalam sembari merapikan penampilan.

Ibu jari Kadewa mengusap bibirnya. "Not bad. Lebih enak dari ciuman di tangga," gumamnya samar, membuatku melesatkan lirikan tajam.

Aku benci melihatnya masih tampak begitu terkendali seolah menghancurkan perisaiku bukan masalah besar baginya. Semudah ini.

Nggakkah dia merasa bersalah sudah mencium pacar orang? Aku saja merasa mengkhianati Fathan, kenapa Kadewa sempat-sempatnya menjilati bibir?

"Lo nggak usah keluar dulu. Tetep di sini." Gigiku bergemeletuk menyadari Kadewa mustahil merasa bersalah. "Gue nggak mau Fathan salah paham, apalagi ngira gue ada main sama lo. Lo nggak pantes!"

XOXO, Love You LaterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang