Part 2 | Sea of Fire

5.9K 731 385
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.












Nama : Kadewa Caraka Bayukana
Panggilan akrab : Ucak
Kelas : VII-D




MENJADI wakil ketua OSIS terkadang menyenangkan. Aku bisa dengan mudah memperoleh informasi yang kubutuhkan. Apalagi kalau bukan identitas si tuyul gorengan. Berani-beraninya dia memanfaatkan kebaikanku.

"Yaya udah baikan?"

Fathan membuyarkan konsentrasiku dengan bertanya. Bel istirahat kedua baru saja berdentang. Satu per satu anggota OSIS mulai berdatangan ke ruangan. Berhubung aku dan Fathan sudah dari tadi di ruang OSIS untuk mempersiapkan materi rapat, kami bisa beristirahat sejenak.

Aku berhenti menatap kresek pemberian Kadewa, ganti memandang si ketua OSIS di seberang meja.

"Baikan apanya, Than?"

"Lah, dari kemarin bukannya lagi mode senggol bacok?" Fathan menaik-turunkan alis. "Aku sampe nggak berani nanya gara-gara takut disembur. Mukamu asem banget tahu, Yaya."

Oh, ternyata itu.

Diingatkan lagi, rasa tak nyaman kembali bergelung di perutku. Aku nyaris lupa perihal perceraian orang tuaku, tapi pernyataan Fathan barusan menyinggungnya.

Napasku memberat.

Setahun menjadi teman berorganisasi, Fathan cukup hafal kebiasaanku. Jika ada sesuatu yang mengganggu, pasti mood-ku ikut berantakan. Akhirnya kata-kata yang keluar jadi nggak keruan bahkan nggak menyahut sama sekali seperti patung.

Dalam diskusi materi rapat tadi, aku lebih banyak diam. Membiarkan Fathan menyampaikan gagasan mengenai acara purna bakti OSIS tanpa interupsi sama sekali. Itu bukan kebiasaanku. Aku biasanya bertindak sebagai penyelaras ide-ide Fathan. Pantas dia bertanya demikian.

"Nggak pa-pa," jawabku datar. "Aku baik-baik aja."

Hanya saja, sulit rasanya menceritakan apa yang kualami. Semenjak Papa mengirimkan surat itu, aku menjadi saksi bagaimana Mama menangis setiap malam. Nggak ada satu hal pun yang bisa kulakukan untuk menghiburnya karena aku sendiri juga... bingung. Takut.

Takut kehilangan Mama. Takut kehilangan Papa. Takut pada masa depan.

Aku biasa mencurahkan segala hal pada Mama, tapi sekarang mana mungkin aku melakukannya ketika tahu Mama sedang menanggung beban berat?

Surat itu membuatku tersadar bahwa di dunia ini setiap orang punya masalahnya sendiri-sendiri. Berat atau ringannya nggak ada yang mengerti kecuali diri sendiri.

Aku yakin Fathan juga punya masalah, jadi dia jelas nggak butuh beban cerita sedihku. Pendam saja semuanya sendiri.

"Aku keluar bentar, Than," pamitku sembari membawa kresek putih.

XOXO, Love You LaterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang