Part 19 | Radiance of Hostility

3.6K 589 346
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.














HAMPIR. Hampir saja makhluk berbulu itu terlindas. Aku memegangi dada saking terkejutnya. Rupanya sebenci-bencinya aku pada Kadewa, aku masih takut sehidup seneraka bersamanya.

Kadewa berhasil menyeimbangkan motor sebelum terjerembap ke trotoar.

"Astaga, sembarangan banget. Nih induknya mana, sih? Kok anaknya dibiarin kelayapan di jalan?" Omelannya lepas begitu kami menepi.

Aku mengikuti Kadewa turun dari motor. Detak jantungku masih tak beraturan ketika memutuskan berjongkok. Salah satu plastik belanjaan sobek. Akibatnya, beberapa bungkus snack pun berhamburan di tepi jalan. Aku memungutnya.

"Zaviya, lo nggak apa-apa? Sori tadi gue banting setir dadakan." Kadewa menjauhkan makhluk berbulu putih dari badan jalan raya yang ramai. Ia memangkunya. "Untung si kitten nggak kenapa-napa. Muncul malem-malem, warnanya putih pula. Bisa jadi nightmare kalau gue ngilangin nyawa makhluk hidup dua kali dalam seminggu ini."

Aku diam, sibuk mengembalikan ketenangan.

Jujur, ini menyebalkan. Hanya karena hampir menabrak anak kucing, Kadewa nyaris membuat kami celaka. Reaksi yang berlebihan menurutku. Hidup dan mati memang sudah ditentukan oleh Tuhan, tapi keselamatan diri sendiri jangan sampai dilupakan.

Bibirku menipis. "Gue kaget, Kadewa. Lo harus biayain check-up jantung gue sehabis ini."

Gerakan Kadewa dalam membuka jok motor terjeda. Ia menoleh dengan alis terangkat.

"Serius lo jantungan, Ya? Mana sini, gue pegang dadanya."

Cazzo! Aku refleks menyingkir ketika Kadewa menjulurkan tangan. Niat hati ingin memalaknya malah jadi aku yang dimodusi.

Makhluk berbulu itu mengeong. Praktis suaranya membuat Kadewa balik ke mode kalem.

"Oh iya, lupa. Sebentar, ya. Tadi mau ambil pakan di bawah jok motor, tapi mastiin musuh gue sehat dulu." Kadewa bicara sambil mengelus-elus kepala si makhluk berbulu. "Tenang, gue selalu bawa pakan kucing ke mana-mana kok. Nih, nih, makan sambil nunggu induk lo jemput. Jangan malu-malu."

Dengan telaten, laki-laki itu membuka plastik makanan kucing, sepenuhnya melupakan ulah tadi.

Aku mengernyit. "Udah, kan? Ayo balik ke apartemen. Keburu malem." Sekarang pukul tujuh malam dan aku belum makan. "Tinggal pinggirin aja tuh kucing. Entar juga ketemu induknya sendiri."

"Rawan, Zaviya. Dia bisa lari ke jalan kayak tadi terus celaka."

"Itu cuma kucing. Peduli amat, Kadewa!" sergahku jengkel.

Kenapa sih dia mesti sepeduli ini pada makhluk yang bahkan nggak membawa keuntungan apa pun baginya? Merepotkan. Aku nggak suka binatang! Pekerjaanku masih banyak yang perlu diselesaikan.

XOXO, Love You LaterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang