FATHAN nggak sendiri. Dia bersama perempuan yang selama ini namanya kudengar dari cerita-ceritanya. Gladys.
"Iya. Cari makan." Aku menoleh sekilas.
Tatapan Fathan berubah serius ketika mendapati Kadewa mencengkeram tanganku. Ia berjalan mendekat diikuti Gladys.
"Kok nggak bilang-bilang mau ke sini, Yaya? Resto gue ada di atas." Tanpa mengindahkan lirikan tajam, Fathan memisahkan aku dari Kadewa. Ia langsung menarik tanganku. "Harusnya bilang aja, entar gue reservasiin tempat. Weekend gini biasanya padat, Ya. Gue juga sekalian pengecekan bulanan resto, nih."
Adakalanya, aku merasa bingung, jenis perasaan apa yang sebenarnya Fathan miliki. Dia pernah berkata cintanya habis di satu orang, sedangkan sisanya melanjutkan hidup. Kesepakatan kami pun didasarkan pada keenggakmampuan kami dalam mencintai orang lain.
Aku karena pengalaman buruk, Fathan karena enggan patah hati lagi. Kehadiranku bertujuan agar Fathan nggak dikasihani orang lain akibat gagal move on. Situational relationship.
Namun, reaksi Fathan akhir-akhir ini membuatku kembali mempertanyakannya.
"Nggak perlu. Gue bisa makan di tempat lain," tolakku datar.
"Iya, dan nggak usah pegang-pegang. Ini tempat umum." Kadewa menimbrung. Dipukulkannya sarung tangan ke lengan Fathan. "Norak! Inget Indonesia punya norma. Norak!"
"Apa sih, anjir? Pacar-pacar gue, terserah gue mau ngapainlah!" Fathan berjengit.
"Baru pacar, belum istri."
Nyaris saja aku melupakan keberadaan Kadewa. Aura permusuhan tecermin dari tatapan tajamnya yang tak berpindah dari tautan tanganku dan Fathan. Andai mata Kadewa sejenis laser, pasti tangan Fathan sudah bolong sekarang.
Aku refleks melepaskan genggaman.
Mal ini memang teritori Fathan. Jaringan resto yang ia kelola berada di lantai tiga mal. Namun, tetap saja bukan berarti aku sudi membuat keributan di sini.
"Silakan aja kalau mau lanjut kerja, Than. Gue ada urusan sama Kadewa." Aku mengangguk sekilas pada Gladys yang menyimak. "Pleased to meet you."
Amat canggung bertatap muka langsung dengan perempuan yang namanya selalu Fathan sebutkan. Meski balasan Gladys adalah senyum ramah, aku nggak bisa luwes menghadapinya. Kaku.
"Pacar Fathan, kan? Gue Gladys. Fathan sering cerita tentang lo, Zaviya."
"Iya." Aku menanggapi sekadarnya.
Entah harus berterima kasih atau mengumpat, sergahan Kadewa lagi-lagi memotong. "Masih pacar nggak usah dikenalin. Entar kalau udah putus malu sendiri!"
Dia ini sedang mengingatkan atau menyumpahi hubunganku, sih? Dasar orang gila!
Tangan Kadewa mengibas tak acuh. "Udahlah, lo berdua pergi sana. Syuh! Zaviya masih ada urusan sama gue. Ini hari khusus. Jangan ganggu."
KAMU SEDANG MEMBACA
XOXO, Love You Later
RomanceOnce upon a time, I loved Kadewa. Hanya berani memendamnya tanpa sedikit pun mengungkapkannya. Tersenyum saat melihatnya tertawa. Khawatir saat melihatnya terjatuh. Once upon a time, pusat gravitasiku adalah Kadewa. Selalu mencari-cari kesempatan un...