Part 25 | Tempest of Memory

4.6K 708 410
                                    





🚝 Minta 290 komentar untuk bab ini ya 🚝
Ayo ramaikan~









🚝 Minta 290 komentar untuk bab ini ya 🚝Ayo ramaikan~

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.











BASAH. Rambut, wajah, dan kaus tak luput dari siraman antah berantah. Amigdala menahan reaksi meski denyutan di badan meneriakkan situasi macam apa yang kuhadapi. Perempuan ini menendang betisku.

"Lo yang namanya Zaviya? Cewek nggak tahu malu! Gara-gara lo, Ucak mutusin gue. Puas lo, hah?"

Perempuan dengan rambut blonde palsu ini berteriak. Di tangannya ada setangkai bunga layu dan kaleng soda yang isinya telah berpindah ke badanku.

Pezzo di merda!

Sejenak, aku mengecek Yaya, memastikannya masih bergelung nyaman sebelum menanggapi.

"Tolong sopan santunnya dipake. Kitten di pelukan saya prematur. Anda dateng-dateng langsung nyiram, dorong, dan nendang...." Suaraku lirih, hampir menyerupai desisan saat menangkap kamera ponsel yang diarahkan. "Kalau sampai terjadi sesuatu sama kitten ini, saya bakal jeblosin Anda ke neraka. Silakan marah-marah, tapi nggak usah nyakitin binatang!"

"Alah, nggak usah sok suci! Cewek nggak tahu malu kayak lo mana pantes peduliin kucing!" hardiknya, tak malu menunjukkan sisi kasar. "Asal lo tahu, dua bulan ini hubungan gue sama Ucak baik-baik aja, tapi mendadak dia minta putus. Lo pelet Ucak pake apaan?"

Apakah semua pacar Kadewa gila? Ralat, mantan. Apakah semua mantan Kadewa gila?

Dia melabrakku hanya karena diputuskan? Bukankah pihak lelaki yang semestinya dihakimi?

"Anda bukan cewek dia satu-satunya." Tanpa ampun, aku bersuka ria menabur garam di atas luka. Biarkan saja cegil ini makin meledak. "Anda pasti udah baca berita viral, kan? Cewek dia lebih dari satu bahkan ada jadwal tersendiri. Nggak worth it Anda belain cowok yang bahkan nggak peduli perasaan Anda gimana."

"Gue nggak masalah asal bukan putus!"

"Anda nggak punya harga diri?"

"Buat apa harga diri kalau gue kehilangan orang yang gue sayang?"

Bibirku terkatup. God! Pasien TBC dari mana ini? Tololis Bucingitis.

Masih merekam, ia kelihatan bertekad mempermalukan. Sampai mati pun aku nggak akan tunduk pada intimidasinya. Jika dia menginginkan drama, akan aku berikan drama. Jika dia menginginkan perang, akan aku berikan perang.

Maka dengan sengaja, aku tetap duduk di lantai sembari berpura-pura meringis sakit.

"I pity you. Masih banyak cowok yang lebih baik dari dia," desahku, sedapat mungkin memasang ekspresi simpati di depan kamera.

XOXO, Love You LaterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang