🚝 Minta 320 komentar untuk bab ini ya 🚝
CIUMAN itu lebih mirip sergapan. Aku sama sekali nggak mengantisipasi karena masih dalam proses mencerna pengakuan Kadewa--landasan kemarahannya, kesalahpahaman yang melingkari kami, hingga perubahan sikap yang begitu tiba-tiba.
Sisi mana yang harus kupercaya? Prasangkaku meleset semua. Kadewa nggak seberengsek bayanganku?
Logikaku menjerit, pasti ini hanya satu dari sekian taktiknya dalam meruntuhkan benteng pertahanan. Namun perasaan menyanggah, mungkin aku saja yang perlu mengenal Kadewa lebih dalam. Selama ini aku terlalu berpegangan pada penilaian subjektif tanpa benar-benar mengenalnya.
Bibir Kadewa memagut. Matanya membuka seolah menanti reaksi berikutnya. Napas hangatnya berpadu dengan napasku.
I'm too tired to guess. Too tired of being cornered, confused, and overwhelmed.
Maka dengan keberanian lebih, aku memiringkan kepala, memperdalam tautan. Berbagai pemikiran silih berganti mengguncang ketenangan. Aku mengusirnya dengan balas melumat bibir bawah Kadewa.
Dia harus tahu dengan siapa dirinya berhadapan. Hari ini juga, aku mengusaikan rasa takut. Sepenuhnya, aku menerjunkan diri ke dalam kobaran api.
Lidahku membelit, tanpa sungkan mendominasi. Pupil laki-laki itu melebar.
"Zaviya...." Ia mengerang.
Lembut, jari-jemariku mengelus rahang kokoh Kadewa. Untuk pertama kalinya, aku mengulas senyum menawan.
"Iya," bisikku. "Bagian khusus ini emang lembut."
Remember, you were the one who ignited this.
Mari saling menghancurkan, Kadewa. Aku hancur, kamu hancur. Aku jatuh, kamu jatuh. Aku terpikat, kamu terpikat. Nggak ada jalan mundur. Kebingungan, kemisteriusan, dan kesalahpahaman ini semestinya diselesaikan.
Lenganku mengalung ke lehernya. Kubuka bibir untuk menjelajahi kelembutan mulut Kadewa dengan sesekali menggigit dan menekan. Kesiap kaget laki-laki itu menerbitkan seringaian.
Tanganku terjalin di rambut hitamnya, mendesak Kadewa untuk menantang. Cangkang perlindungan tebal yang kubangun selama bertahun-tahun untuk melindungi diri dari momen seperti ini, remuk berkeping-keping.
Aku sadar memangsa dan dimangsa merupakan hukum kehidupan. Kadewa sudah terlalu lama mengambil posisi memangsa jadi biarkan aku membuatnya merasakan sebaliknya. Kali ini aku nggak akan menghindar lagi.
Kadewa membeku. Lumatan-lumatanku berubah menuntut. Meniru caranya mencium, aku menggigit pelan lalu menyesap bekasnya. Lidahku turut membelai dan menjelajahi setiap sentinya. Kurasakan tubuh Kadewa menegang. Akhirnya setelah syok yang lama, ia berusaha mendominasi kembali.
KAMU SEDANG MEMBACA
XOXO, Love You Later
RomanceOnce upon a time, I loved Kadewa. Hanya berani memendamnya tanpa sedikit pun mengungkapkannya. Tersenyum saat melihatnya tertawa. Khawatir saat melihatnya terjatuh. Once upon a time, pusat gravitasiku adalah Kadewa. Selalu mencari-cari kesempatan un...