Part 18 | Spark of Polemic

3.4K 566 381
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.











DEAR beban hidup, tolong datangnya satu-satu. Jangan keroyokan. Aku tahu hidup memang berat, tapi ini keberatan.

Fathan:
Gue baik-baik aja, Ya. Cuma satu rusuk yang retak. Jangan khawatir.

Fathan:
Btw, gue belum acc keputusan buat akhirin hubungan. Nanti bahas lagi ya. Gue ngerti pikiran lo pasti lagi ruwet banget gara-gara si iblis. Jangan ambil keputusan pas lagi emosi, Zaviya.


Kabar dari Fathan kian menambahi sakit kepala. Aku menyimpan ponsel ketika Kadewa menghentikan motornya.

Sepanjang perjalanan menuju mal lain, bibirku sama sekali nggak bersuara. Sibuk menge-chat Fathan selagi Kadewa nggak memperhatikan.

Aku merasa memiliki tanggung jawab moral setelah tahu Fathan terdampar di rumah sakit, sedangkan pelakunya nggak merasa bersalah sedikit pun. Akan tetapi itu bukan berarti aku nggak serius mengenai keputusan putus. Kenapa laki-laki di sekelilingku kepala batu semua?

"Rame juga," komentar Kadewa.

Matanya memindai kepadatan di food court mal lantai dasar. Sebisa mungkin aku menjaga jarak supaya kami nggak dikira jalan bersama.

Kadewa benar-benar bersikap seolah nggak pernah terjadi apa-apa. Padahal, belum ada satu jam dia mengirim Fathan ke rumah sakit. Sepuluh menit lalu, dia juga baru memperlakukan seseorang seperti karung beras.

Hebat. I'm officially Taken. Tekanan Bathen.

"Pake troli aja kali, ya?" gumamnya lagi.

Alisku mencuram begitu langkah kami berbelok menuju section troli. Aku mengamati dengan nggak senang.

"Lo bilang pengin makan," tegurku datar.

Buat apa mengambil troli jika tujuannya dinner? Bisa nggak sih Kadewa memegang ucapan? Jangan buang-buang waktuku lebih lama.

Ia menembakkan lirikan. "Wah, pita suaranya udah ketemu, Zaviya? Tadi ilang ke mana?"

"Minggat gara-gara lo manggul gue kayak karung beras," sahutku masam.

"Oke, lain kali gue gendong bridal style aja, deh."

Nggak jadi. Ternyata suaraku terlalu berharga untuk menanggapi manusia satu ini. Aku nggak berminat dengan pancingan emosi jilid kesekian.

XOXO, Love You LaterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang