Selamat menikmati kisah para pemuda penghuni lantai 2 kos 20. Semoga kalian bisa terhibur dan tidak merasa sendiri di dunia ini<3
Now Playing :
Jatuh suka-Tulus"Bagaimana, di sini lebih baik 'kan?" tanya laki-laki memakai jaket tebal sambil memandangi sekeliling.
Hembusan angin yang cukup kencang memberi kesejukan tersendiri bagi dua laki-laki yang sedang berjalan santai di tepi kanal. Dibatasi dengan pembatas besi, para pejalan kaki bisa menikmati matahari tenggelam. Tihan mengangguk membenarkan. Matanya takjub menatap sekitar, kanal yang tidak tersentuh oleh sampah, transportasi laut yang bersandar dengan rapi di tepian.
Sekaligus Tihan bangga dengan pemikiran warga sekitar yang tidak mencemari area sekitar dengan sampah ataupun limbah, tidak ada kegiatan bodoh yang merusak kanal dan sadar akan pentingnya menjaga kebersihan.
"Udah bisa kalahin Indonesia belum?" tanya laki-laki itu lagi, Vino namanya. Laki-laki yang lahir di Indonesia dan menghabiskan masa remajanya di Belanda. Ia masih fasih berbahasa Indonesia.
Keduanya bertemu di asrama tempat mereka tinggal. Vino sering mengajak Tihan untuk berjalan-jalan dan mengenalkan negara kincir angin ini. Kehadiran Vino tentu saja memudahkan Tihan selama berada di sini.
"Belum lah. Walaupun masih banyak kurangnya, kekayaan ibu pertiwi jauh lebih indah," ujar Tihan berhenti berjalan, diikuti oleh Vino.
Vino mengangguk kecil. "Gua udah lama di sini. Lumayan kangen juga sama Indonesia. Apalagi sama orang-orang di sana yang random."
"Hahaha, sama Vin. Tapi mau gimana lagi?" Tihan menghembuskan nafasnya dengan berat sambil mencengkram pembatas besi kanal.
Berbicara soal orang-orang random, Tihan dulu pernah hidup selama beberapa tahun dengan orang-orang seperti itu. Bertemu setiap detik, menit, jam dan sehari-hari. Bangun pagi hingga tertidur hanya wajah mereka yang Tihan lihat. Waktu berjalan dengan cepat hingga membawa mereka di sebuah kata perpisahan.
Tihan tidak pernah lagi mendengar suara mereka, tidak pernah lagi mendengar keluhan atas kejahilannya, amarahnya, kekesalannya dan canda tawanya. Semua sibuk dengan urusan masing-masing. Tihan merindukan mereka setiap hari, penghuni lantai dua kost 20
Satu notif dengan dering khusus masuk ke ponsel milik Tihan, segera ia membuka dan membacanya. Bibirnya melengkung sambil menyimpan benda pipih tersebut ke dalam saku jaketnya.
"Dari dia?" tanya Vino menatap ke arah Tihan. Tentang Hanin, Tihan sudah menceritakannya kepada Vino. Tidak semuanya, hanya setengah saja.
Tihan mengangguk. "Hari ini, hari pertama dia masuk kuliah setelah ospek. Dia senang, katanya dia suka sama mata kuliahnya. Dan dia diantar jemput sama pacarnya, tapi telat dikit. Biasa, Jakarta macet."
"Syukurlah," lugas Vino. "Lo orang paling bodoh yang pernah gua lihat, hahaha."
Vino geleng-geleng kepala melihat Tihan yang bereaksi seperti itu saat menyangkut tentang Hanin. Vino kadang meringis sendiri saat Tihan memberi tahu keadaan Hanin yang di dalamnya ada laki-laki lain, yang ia cintai. Vino juga bingung, terbuat dari apakah hati sahabatnya ini, sehingga menganggap hal tersebut biasa-biasa saja.
"Dia memang pantas untuk dicintai dengan seperti ini, Vin. Gua selalu menunggu semua kabarnya, dan berharap hanya kabar baik terus yang gua dengar. Ini memang bodoh, mencintai seseorang yang jelas-jelas sudah mencintai orang lain. Tapi kalau bukan dengan dia, gua enggak akan bisa sebahagia itu saat sama dia," tutur Tihan.
"Han, lo bukannya enggak bisa tanpa dia, tapi lo enggak pernah mau buat coba. Lo malah stuck di situ-situ aja. Setelah lo jauh sampai kesini, apa dia merasa kehilangan lo?" Mulut Tihan terbungkam begitu saja. Dadanya tiba-tiba sesak.