[21] 12:12

292 62 4
                                    

Jisung menghela napasnya panjang sembari menyenderkan punggungnya di kursi mobil. Matanya menghadap keluar jendela, memandangi pemandangan yang membuatnya sadar, bahwa dia sudah pada tempatnya.

Jalanan ibukota, seperti biasa, sangat ramai. Lampu-lampu kendaraan berlomba-lomba menghiasi jalanan. Terjebak macet tidak lagi membuatnya mengumpat, si bungsu dengan tubuh jangkung itu malah diam-diam menghela napasnya lega.

"Hyung," panggil si yang lebih muda.

Jeno hanya membalas dengan deheman singkat.

"Hyung sedang dalam perang dingin bersama Jaemin hyung, ya?"

Jeno terdiam sebentar, tidak mengiyakan, tidak pula mengelak.

Si bungsu itu menghela napasnya. "Kenapa? Bukannya waktu itu kalian sama-sama tinggal di villa ya?"

Jeno masih belum membalas. Tangannya meremat setir kemudi dengan kencang sebagai refleks nya yang sedang berfikir keras. "Kita tidak punya urusan disana."

"Bagaimana kalau itu memang urusan kita?"

Jeno menggigit bibir bawahnya dan membuang napasnya kasar. "Apa, Jisung? Apa urusan kita disana? Bukannya paman Johnny juga mengatakan demikian ya?"

"Jaemin hyung bilang kalian menemukan sesuatu saat kami semua pergi ke festival." Jisung terus saja mencoba mengungkitnya, membuat lagi-lagi Jeno membuang napasnya, mulai jengkel.

"Jisung-ah, kita sepakat untuk tidak membahas ini lagi."

"Tapi hyung, bagaimana kalau, walaupun kita tetap disini, hal-hal itu masih terus mengganggu?"

"Itu tidak mungkin."

Kali ini Jisung yang mulai jengkel. "Tapi aku yakin ada alasan kenapa Jaemin hyung kembali ke masa lalu. Kita sudah menemukan kotak Pandora itu, kita hanya butuh satu langkah lagi untuk tau semuanya."

"Lalu? Lalu apa yang kita dapatkan setelah membuka kotak Pandora itu? Apa kau yakin membukanya bisa tanpa resiko? Kau tau betul, Park Jisung, Mark hyung membawa kita semua pulang untuk tidak mengambil resiko itu."

"Dan kau juga tau benar hyung, dengan tidak membuka kotak itu pun, akan ada resikonya."

Lalu hening, dalam redamnya mobil mewah Jeno, sayup-sayup yang mengisi keheningan mereka hanya klakson dari mobil-mobil yang lain, yang juga terjebak macet bersama mereka.

Kerongkongan mereka seolah tercekat, tidak bisa mengeluarkan satu suara apapun, baik itu untuk menyangkal ataupun melempar argumen lagi.

Kemudian, ponsel di pangkuan Jisung bergetar satu kali, menandakan pesan masuk dari obrolan grup yang di kirim oleh Chenle. Membalas pesannya tentang makan malam.

"Chenle sudah membalas?" Tanya Jeno setelah menghela napasnya panjang, mengalihkan suasana tegang yang mereka hasilkan.

"Em."

"Dia mau apa?"

Saat hendak membalas, si tunggal Park malah kembali tercekat saat melihat sesuatu yang tidak biasa di depannya.

"Jisung-ssi?" Panggil Jeno setengah bercanda, hal hal yang biasa ia lakukan mengingat bagaimana si bungsu ingin sekali di panggil dengan embel-embel formal di usianya yang sudah legal.

"Hah? Apa?" Jisung malah membalas dengan linglung.

"Kenapa? Kau lihat apa?" Jeno melirik ke kaca spion, kalau-kalau dia melihat apa yang tiba-tiba membuat Jisung kaget.

"Tidak, tidak ada. Ku rasa aku salah lihat," jawab Jisung sambil mengerjap-ngerjapkan matanya.

Jeno meliriknya sebentar. "Kalau begitu, Chenle mau nya apa?" Dia tidak ambil pusing.

Spirit Of The DreadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang