Pusing, Chenle merasa tubuh dan kepalanya sangat berat sekali sampai-sampai menarik napas pun adalah hal sulit untuk di lakukan nya. Tubuhnya panas, namun ia kedinginan. Chenle berusaha membuka matanya, namun kelopaknya itu terasa sangat berat sehingga hanya sedikit yang bisa ia lihat.
Kemudian, ia merasa seseorang mengangkat sedikit pergelangan kakinya dan mengenakan sesuatu yang hangat, kaus kaki. Setelah kedua kaki Chenle tertutupi kaus kaki, orang itu berdiri dan berjalan mendekat ke sisi kasur yang ia tempati.
"Chenle-a? Sudah bangun?" Itu suara Jaemin, pun dengan bayang-bayang nya yang terlihat kabur di mata Chenle yang belum terbuka sepenuhnya. Chenle ingin menjawab, namun yang ia keluarkan hanyalah sebuah lenguhan lemas. "Sudah, sudah, tidak usah di paksakan. Kepala mu pusing sekali ya?"
Chenle hendak mengangguk dan mengadu bahwa semua tubuhnya terasa sakit, namun ia tidak bisa. Yang bisa ia lakukan hanya menangis, meneteskan air mata.
Jaemin hanya menghela napasnya melihat Chenle begitu. Bagi Chenle yang tidak pernah mengkonsumsi obat tidur sebelumnya, apalagi dengan dosis yang tinggi, efeknya akan sama dengan obat bius. Apalagi karena sempat kehilangan banyak darah dan penanganan yang terlambat, suhu tubuhnya jadi meningkat dan sekarang, anak itu demam.
"Sudah, sudah. Semua baik-baik saja. Tenangkan diri mu, aku akan mengompres mu terlebih dahulu lalu memasangkan infus. Kau tidak dalam kondisi yang baik untuk kembali minum obat." Jaemin dengan cekatan merendam sebuah handuk kecil ke dalam air hangat, memerasnya dan melipatnya menjadi persegi panjang sebelum menaruhnya di dahi Chenle.
Setelahnya, pemuda Na itu mengambil alat-alat infus, sisa infusan yang kemarin teman-temannya beli untuknya, lalu menginfus Chenle dengan telaten.
Pintu kamar terbuka, si empu kamar masuk dan berjalan mendekati ranjang. "bagaimana keadaannya?" Tanya Renjun.
"Seperti yang sudah aku duga, dia demam dan mengigau. Dan sekarang seluruh tubuhnya akan terasa sakit. Tapi aku sudah menginfusnya, dia akan baik-baik saja."
Renjun menghela nafasnya panjang. Meski Jaemin bilang begitu, dia belum bisa merasa lega. "Kau tidak istirahat? Ini sudah lewat tengah malam."
Jaemin tidak menjawab, mungkin bahkan pertanyaan Renjun tidak masuk ke kepalanya. "Bagaimana Jeno dan Mark hyung? Masih belum pulang?" Dia malah balik bertanya.
"Belum." Renjun menjawab singkat. Ia lalu berjalan mendekati ranjang dan melihat bagaimana Chenle terus menangis dengan lenguhan yang terdengar seperti aduan betapa sakitnya tubuhnya sekarang. Renjun duduk di tepi ranjang di dekat pinggang Chenle, tidak menggangu Jaemin yang sibuk memasang infus. "Maafkan aku." Renjun merasa bersalah karena bagaimanapun, yang Chenle minum adalah obatnya.
"Bukan salah mu." Jaemin yang mendengar ucapan itu lantas menyahut cepat. "Itu pilihannya, kau tidak mendorongnya untuk melakukan itu."
Renjun tidak membalas apapun, tapi jelas, anak itu belum lepas dari rasa bersalahnya.
Setelah selesai memasang dan mengatur infus untuk Chenle, Jaemin beralih memperhatikan Renjun. Raut bersalah begitu ketara di wajahnya, dengan pelan ia mengambil tangan Chenle yang sudah terpasang infus dan mengelusnya lembut. Matanya pelan-pelan memerah melihat Chenle yang masih belum berhenti mengeluh sakit.
"Bukan salahmu, Renjunnie," ucap Jaemin lagi.
"Sebenarnya apa yang salah, Jaemin-ah? Kenapa jadi begini?" Tanya Renjun sambil menatap Jaemin dengan putus asa.
Dan Jaemin pun tidak memiliki jawaban untuk itu. Yang bisa ia lakukan hanyalah mendekap bahu Renjun dan mengelusnya, seolah memberikan kekuatan. "Aku janji, kita akan memperbaikinya. Semuanya akan baik-baik saja."
KAMU SEDANG MEMBACA
Spirit Of The Dread
HorrorRenjun tau, bahwa ada diantara sahabatnya yang di karuniai sebuah hal istimewa tentang bagaimana mereka bisa melihat dunia yang tidak bisa di jelaskan melalui logika manusia. Namun tetap saja, menjadi normal dan menjalani hidup dengan hal-hal biasa...