Siang itu terasa biasa bagi Haechan. Ketika mobil Mark sudah keluar dari pekarangan rumahnya setelah mengantarnya, si pemuda dengan kulit melanin itu dengan segera memasuki rumahnya yang kosong.
Biasanya, para pekerja sudah menyelesaikan pekerjaan mereka pada waktu seperti ini. Yang tersisa hanyalah satu tukang kebun yang merawat tanaman-tanaman hijau yang ibunya tanam di halaman rumah mereka yang besar, serta satu maid yang siap sedia jika di butuhkan.
Sebagaimana anak laki-laki lainnya, pemuda itu hanya meletakkan barang-barangnya dengan serampangan lalu merebahkan tubuhnya di atas sofa rumahnya yang lembut.
Dengan keadaan terlungkup, Haechan menelisik keadaan rumahnya yang terasa familiar, namun asing disaat yang bersamaan.
Padahal, ia hanya meninggalkan rumah ini lebih kurang satu minggu, namun perbedaan antara atmosfer dari kedua tempat bernaung itu cukup berbeda. Apalagi dengan segala hal yang telah ia lewati bersama teman-temannya yang lain. Rasanya, untuk mengambil napas lega pun sulit.
Tetapi di rumahnya sekarang, Haechan merasa sepi. Ia merasa ada yang aneh, ada yang salah, ada yang seperti tidak seharusnya. Rumahnya memang terlihat damai, asri, seperti biasanya, namun Haechan tetap merasa ada yang ganjal.
Si Tan itu menghembuskan napas keras lalu menggeleng, menepis semua sugesti buruk yang bersarang di kepalanya dan memilih untuk pasrah di jemput alam mimpi.
Entah sudah berapa lama Haechan tertidur, ia terbangun saat merasa tidurnya sudah cukup. Dengan posisi terlentang, Haechan terdiam menatap langit-langit sembari mengumpulkan nyawanya yang masih mengawang.
Semakin nyawanya terkumpul, semakin Haechan merasa ada yang aneh. Sofa yang ia tiduri terasa lebih sempit, udara sekitarnya terasa lebih panas. Dan langit-langit yang ia pandangi, alih-alih berwarna putih sebagaimana kesukaan ibunya, langit-langit itu malah berwarna coklat dengan sentuhan tradisional yang Haechan cukup hapal bahwa dirinya-
Tersadar sepenuhnya, mata Haechan membola lebar dan ia segera duduk dan menyapu pandangannya dengan yang cukup memburu. Rasa kagetnya yang besar tidak bisa ia tahan saat ia mendapati dirinya tengah berada di ruang tamu villa milik keluarga Jeno.
Kepalanya tidak bisa memproses apa yang terjadi. Ia mengusap-usap matanya dengan kasar, tidak lupa menampar pipinya beberapa kali, berharap kalau dirinya salah. Akan tetapi tidak ada yang berubah, dia tetap terduduk di sofa ruang tamu villa tempat mereka dulu sering berkumpul.
"Haechan-ah!" Suara yang kelewat familiar itu cukup membuat Haechan dengan cepat menoleh, dan seperti tebakannya, suara itu adalah suara milik Renjun. "Sudah bangun?" Pemuda kecil itu berjalan mendekati Haechan.
"Renjun-ah, kenapa kita ada disini? Kenapa kita kembali kesini?" Tanya Haechan tanpa basa-basi.
"Apa maksud mu?" Kening Renjun mengkerut bingung. Lalu ia terkekeh. "Seingin itu mau pulang sampai-sampai kau bermimpi kita sudah pulang ke Seoul?"
Haechan tidak bisa membalas lagi, ia hanya menatap nanar ke arah Renjun. Masih tidak mempercayai bahwa kepulangannya ke ibu kota hanyalah mimpinya semata.
Renjun mengulas senyum manisnya lagi, "Sudah, kau ini mulai melantur. Ayo makan, makan malam kita sudah siap," ucapnya sambil menepuk-nepuk pelan pipi Haechan.
Melihat Haechan tidak bergerak di tempatnya, Renjun berinisiatif untuk mengambil tangan Haechan, menariknya untuk berdiri dan berjalan ke arah dapur.
Haechan hanya pasrah mengikut. Pandangannya ia edarkan ke segala arah, dan ia kembali sadar akan sesuatu. "Renjun-ah, dimana yang lainnya?"
Bahu kecil Renjun terangkat singkat. "Entahlah, mungkin sedang berjalan-jalan di luar?"
Mata Haechan beralih ke arah jendela, dan anehnya, pemandangan yang ia tangkap di jendela itu hanyalah gelap, seolah ada tembok berwarna hitam yang menutupi bagian luar. Refleks, Haechan menghentikan langkahnya, membuat Renjun juga ikut berhenti.
KAMU SEDANG MEMBACA
Spirit Of The Dread
HorrorRenjun tau, bahwa ada diantara sahabatnya yang di karuniai sebuah hal istimewa tentang bagaimana mereka bisa melihat dunia yang tidak bisa di jelaskan melalui logika manusia. Namun tetap saja, menjadi normal dan menjalani hidup dengan hal-hal biasa...