[1] singularity

653 57 18
                                    

Butuh waktu hampir enam jam untuk mereka semua sampai di villa penginapan milik ayah Jeno. Harusnya bisa lebih cepat, namun mereka semua sepakat untuk tidak melajukan mobil dengan terburu-buru dan memilih untuk menikmati pemandangan yang mereka dapatkan di sepanjang jalan.

Saat siang tadi, ketujuhnya juga menyempatkan diri untuk singgah di sebuah tebing dengan pemandangan sungai panjang dan tebing-tebing tinggi lainnya untuk makan siang dan berfoto-foto.

Sekarang, mobil Mark dan Jaemin sudah terparkir apik di halaman villa yang sangat luas.

"Lele banguuunn, kita sudah sampai!!" Teriak Haechan cukup kencang pada Chenle yang tertidur di kursi belakang, sementara Mark sudah turun duluan dan membuka bagasi.

Di teriaki begitu tentu membuat Chenle terbangun, dia mendengus ke Haechan yang tertawa dan mulai duduk tegak.

Mata Chenle tertuju lurus, menyipit demi melihat lebih jelas villa di depan sana. Tapi anehnya, dia melihat banyak orang berdiri berjejer di depan villa itu. Chenle menutup matanya lagi dan mengusapnya pelan, lalu kemudian membukanya, saat pandangannya lebih terlihat jelas, Chenle tidak melihat orang-orang tadi disana. Hanya ada sebuah rumah besar yang terlihat sudah agak tua.

"Heh! Cepat turun dan bantu mengeluarkan barang!" Tegur Haechan lagi.

Chenle menghela nafas. "Hhh... mungkin tadi aku masih terbawa mimpi," monolognya sebelum kemudian turun dan merenggangkan badan. Dia melirik ke mobil sebelah, dimana Jaemin dan Renjun bahu membahu untuk mengeluarkan barang dari mobil Jaemin sementara Jeno memeriksa mesin mobil.

Sementara itu, Jisung bertugas membuka pintu villa dengan kunci yang tadi di berikan Jeno. Dia masih memperhatikan bulatan dengan banyak kunci itu, lupa bertanya pada Jeno yang mana kuncinya. Tapi melihat salah satu kakaknya yang bertubuh kekar itu sibuk dengan mesin mobil, Jisung memilih untuk mencari kuncinya sendiri.

Saat ini, sudah ada empat kunci yang Jisung sudah coba, namun pintu belum mau terbuka.

"Kunci yang ini kecil dan berkarat sekali," kata Jisung sembari memperhatikan kunci kelima yang akan di cobanya. "Eh...ini karat..?" Atas dasar rasa penasaran yang tinggi, Jisung membawa kunci itu mendekat pada hidungnya untuk di endus. "Uhh....baru darah," monolognya kemudian dan beralih pada kunci lain karena dia yakin kalau itu bukan kunci dari pintu utama.

Dan benar saja, pintu berhasil terbuka di kunci keenam. Jisung tersenyum dan segera menekan knop pintu, namun pintu itu seperti terhalang sehingga Jisung tidak bisa membukanya.

"Eh? Macet?" Jisung itu mengambil prodi teknikal. Dia tentu tau jelas, bagaimana bentuk pintu yang tidak bisa di buka karena macet engsel, atau mana pintu yang tidak bisa di buka karena tertahan sesuatu.

"Engselnya tidak berkarat." Jisung mencoba mendorong pintu itu agar bisa terbuka, tapi sesuatu seperti menahannya dengan kuat dari dalam. Saat hendak mengarahkan tenaganya lebih kuat, pintu itu tiba-tiba saja mau terbuka dengan sendirinya. Tentu Jisung semakin heran.

Dia lalu berjongkok, melihat ke bawah siapa tau ada sesuatu yang mengganjal di sela kecil antara lantai dan dasar pintu.

"Kenapa, Jie?" Tanya Renjun yang heran melihat adik paling mudanya itu bertingkah aneh.

"Uhh...tadi pintu ini tidak bisa di buka, hyung. Aku mau lihat, ada yang mengganjal tidak," jawab Jisung sambil menoleh ke Renjun.

Renjun lalu mendekati Jisung dan mencoba membuka tutup pintu itu. "Tidak ada apa-apa." Dan pintu itu terbuka dan tertutup saat Renjun menarik dan mendorongnya. Jisung.

"Ya! Kenapa pada bengong disitu?!" Teriak Haechan pada Jisung dan Renjun dengan membawa dua koper di tangannya. "Cepat buka pintunya dan masukkan semua ini, berat!"

Spirit Of The DreadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang