Jeno memutar lehernya pegal, langkahnya sudah mulai jengah mengikuti Chenle dan Jisung yang masih semangat berkeliling dengan es krim di tangan masing-masing. Diam-diam Jeno mendengus, kenapa dia terlihat seperti sedang menjadi seorang baby sitter dengan dua kantung belanjaan di tangannya.
"YA! Jangan terlalu cepat!" Pekik Jeno saat kedua adiknya itu makin jauh karena saling mengejar.
"Haiisss tau begini tadi aku bawa Jaemin atau Haechan!" Gerutu pemuda bermata sipit tersebut. Menyesali kenapa tadi dia tidak menyuruh Jaemin menemaninya atau menarik Haechan jatuh dari kasurnya agar bisa bersama-sama pusing mengurusi dua maknae itu.
Sore itu, Chenle mengajak mereka untuk berbelanja di mini market terdekat untuk makan malam, sebagai tuan rumah yang satu-satunya tau jalan, tentu saja Jeno harus ikut. Tapi Mark beralasan kalau dia harus memeriksa tangki air, Jaemin pun menawarkan diri untuk membantu. Haechan yang memilih tidur, dan Renjun yang tidak mau mengangkat tubuhnya dari tumpukan bantal di atas sofa. Jadilah Jisung dan Chenle yang ikut.
Chenle menampilkan cengiran lebarnya saat dirinya dan Jisung sudah kembali menempatkan diri diantara Jeno, tersenyum tanpa dosa saat Jeno menekuk wajahnya.
"Jarang-jarang sekali kita pergi ke tempat-tempat seperti ini. Udaranya segar dan sangaaaaattt sunyii," komentar Chenle.
"Benar, biasanya kita hanya akan berlibur ke pantai, atau ke luar negri. Ini lebih menenangkan daripada melihat kota Manhattan dari lantai delapan puluh lima." Jisung tidak bisa menyembunyikan kesukaannya. Desa ini sangat asri
"Sayang sekali loh kalau vila yang kita tempati itu di biarkan kosong. Harusnya di tinggali saja. Tempat ini cocok di jadikan tempat istirahat masa-masa tua."
"Aku pikir juga begitu, tapi entah kenapa tidak ada satupun keluarga ku yang mau tinggal tetap disana. Mereka lebih suka suasana kota dan melanjutkan kerja, mungkin sampai tidak mengenali huruf lagi." Bukan rahasia lagi kalau keluarga Jeno berisi orang-orang perfeksionis yang sangat ambisius. Mereka lebih mementingkan pekerjaan di atas segalanya membuat Jeno kadang-kadang merasa terikat dan tidak bebas.
Tapi untung saja dia punya teman seperti Haechan atau Jaemin yang bisa membuat kalimat-kalimat manis dan rayuan demi mendapatkan perhatian orang tua Jeno, atau ada Renjun dan Mark, yang sikap manis serta santunnya yang memikat orang-orang tanpa berusaha keras, sehingga kedua orang tua Jeno tidak khawatir lagi kalau bergaul dengan mereka.
Walau aslinya, perkumpulan mereka terlihat sedikit sesat kala sudah bersama, tapi Jeno bersyukur memiliki keenamnya.
"Tidak asik," celetuk Chenle, bibirnya maju, membuat sudut mata Jeno berkedut samar, lupa akan niatnya mau mengomeli dua maknae ini.
"Yak! Ini masih wilayah orang tau! Kita masih orang baru, jadi jaga sikap kalian, jangan sampai kita di usir dan di cap yang tidak-tidak." Jeno mulai mengomel. Memang mau sependiam apapun dia, dia hanya akan berubah menjadi ibu-ibu cerewet jika di hadapkan dengan dua maknae ini
"Aaaa~ Hyung, bagaimana kalo kita beli jagung untuk di bakar nanti malam?" Ucap Chenle dengan semangat.
"Tidak, kalian sudah terlalu banyak berbelanja." Jeno menjawab tanpa berfikir.
"Aih, hyung! Ayolaahh, kita kehabisan daging dan hanya beli sosis tadi, ayo beli jagung juga supaya jadi lebih banyak."
"Ini sudah lebih dari banyak!" Jika ini di animasi kartun, kita semua pasti bisa melihat perempatan imajiner di sudut pelipis Jeno, mengingat mereka menenteng masing-masing plastik besar di tangan mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Spirit Of The Dread
HorrorRenjun tau, bahwa ada diantara sahabatnya yang di karuniai sebuah hal istimewa tentang bagaimana mereka bisa melihat dunia yang tidak bisa di jelaskan melalui logika manusia. Namun tetap saja, menjadi normal dan menjalani hidup dengan hal-hal biasa...