Malam itu, semuanya gelap. Setelah melewati meriahnya festival di balai desa yang di penuhi lampu, baik itu lampu yang sengaja di pasang maupun lampu-lampu kendaraan, kini mereka kembali ke jalan sunyi penuh kegelapan.
Renjun menyandarkan tubuhnya yang lelah di kursi mobil. Matanya menatap sayu keluar jendela, mengamati apa-apa saja yang di lewati mobil Jaemin dengan kecepatan yang tidak bisa di bilang pelan itu demi mengejar mobil Mark di depan sana.
Kondisi dalam mobil itu sunyi senyap. Tidak ada yang berani mengganggu fokus Jaemin yang sedang dalam mode serius.
Kemudian sebuah beban berat menumpu di bahunya, membuat Renjun menoleh; ada pucuk kepala Chenle disana.
"Hyung..." Si cina muda memanggil dengan lirih.
"Hmm?"
"Tadi saat di festival...."
"Ya?" Renjun memperbaiki duduknya agar lebih dekat dengan Chenle saat anak itu terdengar ingin bercerita lebih.
"Paman Johnny..." Chenle tidak melanjutkan ucapannya, dia tidak tau harus mulai darimana karena isi kepalanya seperti benang kusut yang ia tidak tau dimana ujung-pangkal nya.
"Kenapa dengan paman Johnny, Chenle? Apa terjadi sesuatu saat festival?" Tanya Jeno yang mendengar percakapan Chenle dengan Renjun di kursi belakang.
Chenle diam sebentar, bibir bawahnya dia gigit ragu dengan jemari yang memilin ujung mantel Renjun. "Mark hyung, dia menceritakan semuanya pada paman Johnny. Tentang kita yang pergi ke ruang bawah tanah, dan teror itu. Tapi..."
Jeno memutar sedikit tubuhnya menghadap ke belakang supaya dapat melihat raut wajah adiknya itu. "Tapi kenapa?"
Diam-diam di depan setir, Jaemin juga ikut melirik penasaran dari kaca spion.
"Paman Johnny... sepertinya beliau marah," kata Chenle kian lirih. "Beliau bilang, kita seharusnya sudah harus pulang saat mendapati hal yang tidak masuk akal. Bukannya malah menghampirinya seperti orang bodoh."
Renjun kontan menggigit bibir bawahnya, ia merasa semua ini tidak benar. Kepulangan mereka bukan lah sebuah jalan keluar. Tapi sayangnya Mark tidak mau mengambil resiko apapun lagi. Bagaimana pun, dia tidak bisa membahayakan mereka semua.
Dari balik setir, Jaemin mencengkram kemudi dengan erat. Ada begitu banyak yang terjadi saat dirinya tidak sadar dan dia benci fakta itu. Ia yang biasanya tenang dan menjadi alternatif penenang bagi teman-temannya kini seperti tidak berkutik.
"Sebenarnya apa yang paman Johnny tau? Soal teror itu, atau soal penyalahgunaan ruang bawah tanah itu?" Suara Renjun yang lirih terdengar oleh tiga pasang telinga di ruang lingkup mobil.
Kening Chenle mengernyit, dia lalu mendongak demi menatap wajah Renjun. "Terdengar aneh jika paman Johnny tau dua kemungkinan itu. Dia tidak mungkin terlibat, kan?"
Geraman terdengar dari kursi depan, itu berasal dari Jaemin yang sejak tadi tidak berhenti merasa gondok. "Kenapa semakin di telusuri, semakin banyak fakta aneh yang kita temukan?"
"Karena itulah Mark hyung memutuskan untuk membawa kita semua pulang." Jeno yang duduk di sampingnya menyahut.
"Jadi kau setuju dengan keputusan Mark hyung? Apa itu masuk akal? Kau akan meninggalkan semuanya disana setelah apa yang kita lewati? Kau bahkan tidak tau bagaimana nanti nasib keluarga atau orang yang akan mendatangi villa itu nanti," balas Jaemin disertai dengan tawa miris.
"Ku rasa itu bukan hal yang harus kita pikirkan untuk saat ini. Karena sudah terlalu banyak hal yang kita lewati, maka kita itu harus segera kita sudahi."
KAMU SEDANG MEMBACA
Spirit Of The Dread
HorrorRenjun tau, bahwa ada diantara sahabatnya yang di karuniai sebuah hal istimewa tentang bagaimana mereka bisa melihat dunia yang tidak bisa di jelaskan melalui logika manusia. Namun tetap saja, menjadi normal dan menjalani hidup dengan hal-hal biasa...