Tidak ada yang dapat Mark lakukan selain mengangguk meyakinkan Haechan sebelum membawa langkahnya beranjak dari ruang tamu.
Saat Jeno akan mengikuti langkah Mark, Jisung dan Chenle, Haechan menahan bahunya, membuat pria April itu menoleh.
"Jangan takut, jangan terlalu khawatir, itu akan membuat mereka senang. Kemana diri mu yang dulu, yang selalu mengubah rasa takut itu menjadi kekuatan untuk melindungi yang lain?" Ucap pemuda berkulit Tan itu dengan wajah serius.
Jeno mendengus geli dan menyingkirkan tangan Haechan dari bahunya. "aneh rasanya melihat mu seperti ini."
"Jangan sampai aku memukulmu ya, Samoyed." Wajah Haechan seketika menjadi datar.
Dan tanpa membuang waktu lagi, Jeno langsung melangkahkan kakinya menyusul Mark dan yang lainnya.
Hutan belakang villa terasa sejuk siang itu. Banyaknya pohon hijau yang subur berguna untuk menahan cahaya matahari berlebih, sehingga udara terasa segar.
Bibir Chenle mengerucut, suasana damai yang di rasakan nya sekarang seolah mengolok-olok liburannya yang sepenuhnya gagal. Padahal udara seperti ini adalah hal yang dia dambakan demi mencapai sebuah suasana damai yang bisa menjernihkan pikirannya dari hal-hal yang membebani nya satu tahun belakangan ini. Bukannya berkutat seperti pemain utama film horor yang dengan senang hati membuang-buang waktunya untuk memecahkan teka-teki horor. Demi anak anjingnya yang dia rindukan, Chenle benci hal gaib.
"Padahal kemarin hanya butuh beberapa langkah untuk aku sampai di pintu itu." Ucapan Chenle lantas menarik perhatian kakak-kakaknya yang fokus memperhatikan sekitar.
"Itu masalah lain lagi, Lele. Lebih baik tidak hal-hal aneh lagi," tegur Mark dengan halus.
"Kemarin aku dan Mark hyung sangat panik tau, saat akan badai, tapi kalian tidak ada dirumah," tambah Jeno, mengingat bagaimana sore itu ketika ia kembali dari rumah sakit bersama Renjun dan Mark, villa dalam keadaan kosong dan pintu depan serta belakang terbuka lebar, bahkan sempat terhempas beberapa kali di terpa angin.
Jisung meringis mengingatnya. "Kalau benar itu adalah salah satu petunjuk, ku harap kita menemukan sesuatu. Supaya kita bisa cepat pulang. Aku merindukan bungeoppang dan kue beras pedas di tempat langganan ku dengan Renjun hyung. Dia juga pasti akan cepat sembuh kalau di belikan odeng yang ada disana juga."
"Oh iya! Bukannya kata paman Johnny yang kemarin, akan ada festival bazar di balai desa? Mereka jual makanan dan barang-barang kerajinan tangan juga! Hyung...hyung... bagaimana kalau kita kesana? Kata paman Johnny bazar nya akan di mulai besok kan?" Kata Chenle dengan semangat. Binar mata dan antusiasnya yang belakangan ini hilang terlihat lagi.
"Paman Johnny?" Sela Mark.
"Eum! Kami bertemu dengannya saat hari kedua, saat berbelanja. Dia cukup tampan dan baik hati." Chenle berucap, mengeluarkan segala isi kepalanya.
"Ku rasa paman Johnny ini orang asli sini, hyung. Renjun juga bilang bahwa kemarin dia melihat ada banyak orang sibuk di balai desa," tambah Jeno.
"Tapi disisi lain, bukannya ini terasa aneh ya kalau kita malah bersenang-senang? Aku takut kalau kita lengah, ada yang akan celaka lagi." Jisung menatap satu persatu kakak-kakaknya dengan wajah gusar.
Setelah itu hening beberapa saat, hanya ada suara daun kering yang beradu dengan sepatu mereka.
"Hmmm bagaimana kalau kita periksa yang ini dulu, baru nanti kita bicarakan lagi. Toh tidak ada salahnya berbaur dengan warga lain juga kan? Siapa tau kita bisa mendapat jalan tengah."
Mendengar ucapan Mark, Jeno mengangguk tanda sepaham. "benar. Kita akan selesaikan satu persatu terlebih dahulu."
Percakapan berakhir, empat pemuda ibukota itu sekarang fokus pada langkah mereka masing-masing. Semakin mereka berjalan masuk kedalam hutan, semakin lebat pepohonan yang menyambut mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Spirit Of The Dread
HorrorRenjun tau, bahwa ada diantara sahabatnya yang di karuniai sebuah hal istimewa tentang bagaimana mereka bisa melihat dunia yang tidak bisa di jelaskan melalui logika manusia. Namun tetap saja, menjadi normal dan menjalani hidup dengan hal-hal biasa...