[5] sonder

541 58 16
                                    

"Ini."

Haechan mendongak saat sebuah handuk tergantung di depannya. Matanya bergulir ke atas, melihat Renjun yang berdiri menunggu handuknya di terima.

"Terima kasih."

Renjun mengangguk dan mendudukkan dirinya di sebelah Haechan.

"Kau baik-baik saja?"

Haechan menghentikan aktivitasnya mengusap rambut dengan handuk untuk menatap Renjun dengan lekat. Tidak ada wajah jenaka atau jail seperti sebelum-sebelumnya.

"Aku baik, hanya saja, ku rasa aku tidak dalam mood yang baik," jawab si pemuda tan kemudian. "Apa kau akan menyuruh ku untuk minta maaf pada Jaemin juga?"

Kedua alis Renjun sontak tertaut dan kepalanya memiring, "kenapa harus? Jaemin tadi sudah mengakui kesalahannya. Tapi kalian tidak punya waktu 'kan, untuk bicara? Mungkin nanti? Lagipula, ada hal yang lebih serius di banding itu."

"Lalu perasaan ku tidak serius? Kau tidak--"

"Haechan-ah...disini panas. Jangan membuatnya semakin panas, ya? Ini semua di luar kendali kita."

Kali ini Haechan tidak membalas. Dia diam-diam menyetujui perkataan Renjun. Tidak ada pembicaraan setelahnya. Renjun sibuk membuat teh hangat untuk Mark dan Haechan, sementara Haechan sendiri duduk melamun di meja makan dengan tangan yang masih mengusap rambutnya dengan handuk.

Tidak lama kemudian Mark dan Jeno datang, menarik masing-masing satu kursi untuk mereka duduki. Hujan masih turun sangat deras, suara angin juga masih terdengar menderu dari luar, namun tidak ada sambaran petir lagi.

"Jadi, ada apa? Apa yang terjadi saat kami tidak ada di rumah?" Tanya Mark, maniknya bergantian menatap Jeno dan Renjun yang sedang memunggungi mereka bertiga di pantry.

Jeno mengambil nafas panjang sebelum menceritakan apa yang baru saja Chenle alami tadi. Dari nada yang di keluarkannya, Jeno terdengar sangat frustasi dan khawatir. Karena seingatnya, semenjak dia kecil dan ayahnya membangun vila ini, tidak pernah sedikitpun dia dengar dan rasakan sendiri kejadian horor seperti ini.

Keluarganya juga kerap kali berkunjung kesini setiap tahun untuk berlibur, dan tidak ada kejadian aneh apapun yang menyebabkan vila ini menjadi tempat bersejarah angker yang di huni oleh makhluk gaib.

Renjun meletakkan cangkir teh di depan ketiga orang yang sedang bersitegang itu. Raut wajah Mark mengeras, Jeno tidak henti-hentinya menghela nafas cemas dan air muka Haechan yang resah, kukunya bahkan hampir melukai daging jari yang sedari tadi dia remas.

Petir menyambar sekali, menambah ketegangan yang ada di ruang makan itu.

"Hyung dan Haechan minum dulu teh nya, kalian habis kena hujan kan." Renjun menawarkan, tidak tahan dengan aura tegang disana.

Mark mengangguk sekilas sebelum menyeruput teh nya, membiarkan rasa hangat mengalir di penjuru tubuhnya. Sementara Haechan menunduk, kedua lengannya mengusap-usap badan cangkir yang panas demi menghangatkan telapak tangannya yang dingin.

"Hal-hal itu sepertinya memang tidak datang dari vila ini, Jen," ujar Mark akhirnya.

"Maksud hyung?"

"Tadi, aku dan Haechan bertemu satu sosok di perjalanan pulang. Kami juga di teror di jalanan. Itu artinya, lingkup mereka luas, tidak hanya di vila ini. Aku yakin mereka hanya terpancing untuk datang kemari." Mark mendesah berat.

"Sejujurnya, firasat ku sudah tidak enak dua hari sebelum kita berangkat. Aku kira itu ulah Jaemin lagi, ku kira itu akibat beberapa energi yang tidak sengaja Jaemin bawa pulang lalu berakhir menggangu ku karena pertahanan diri ku sangat payah. Tapi ternyata itu masih membayang-bayangi ku sampai disini. Makanya aku memilih sekamar dengan Mark hyung..." Ujar Renjun, kepalanya menunduk dengan nada sesal di akhir ceritanya.

Spirit Of The DreadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang