[23] sense

599 84 26
                                    

Ruang makan itu hening. Tidak ada yang mau memulai percakapan diantara tiga pemuda yang di elu-elukan sebagai ikonik pemuda sempurna abad ini.

Jeno berpikir keras, pun dengan Mark yang sedari tadi terus bergerak risau di depan meja kontainer dapur. Mengalihkan pikirannya dengan membereskan kontainer dapur rumah Renjun yang sebenarnya tidak terlalu kotor. Sementara Jaemin, dia membereskan alat pel nya setelah membersihkan darah Chenle yang mengucur. Lalu setelahnya ia sibuk menyeret sprei dan selimut Renjun yang terkena noda darah ke mesin cuci.

Diantara mereka, hanya Jaemin yang diam dengan wajah tenang. Ia juga melakukan kegiatannya tanpa beban, seolah-olah dua pemuda Cina yang sedang tidak sadarkan diri saat itu adalah hal yang biasa.

Lalu suara pin yang di tekan terdengar terburu-buru. Pintu depan terbuka dan si bungsu Jisung masuk dengan tergesa-gesa. Tanpa menemui kakaknya yang lain, Jisung lantas langsung memacu kedua kakinya yang jangkung untuk naik ke lantai atas, kamar Renjun.

Mark, Jeno dan Jaemin hanya membiarkan. Jaemin kembali sibuk dengan aktivitas nya, sementara Mark menghela napasnya panjang dan memilih untuk berhenti bergerak.

"Sejak kapan kau disini?" Suara Jeno memecah keheningan, mencoba menjadi yang pertama membuka percakapan.

"Satu jam sebelum kalian." Jaemin membalas cuek.

"Kenapa tidak memberi tau kami?" Jeno mendesak.

"Renjun dan Chenle-mereka baik-baik saja kan?" Kali ini Mark yang bertanya.

Jaemin tidak langsung menjawab, ia membuka sarung tangan bebersihnya dan menumpu kedua tangannya di tepi meja kontainer tanpa membalikkan tubuhnya menghadap Mark dan Jeno.

"Aku sudah merasakannya dari awal, tapi kalian bilang semua akan baik-baik saja kan?" Sudut mata si pria Na berkedut samar. "Aku panik saat melihat mereka teronggok seperti mayat di atas kasur yang sudah penuh dengan darah. Dan setelah tau mereka masih bernapas, aku juga tidak kunjung lega, apalagi saat menyadari adanya obat tidur itu. Entah berapa butir yang mereka telan, aku tidak tau, tapi Chenle hampir kritis dengan tangannya yang robek itu."

Jaemin kemudian membalik tubuhnya, menatap Mark dan Jeno penuh tuntutan. "Apa ini yang kalian sebut dengan selesai? Apakah tenang hidup kalian selama dua hari ini?"

Dua pemuda Lee itu terdiam, mulut mereka seolah kelu dengan kerongkongan yang terasa tersendat.

"Hyung, kau pasti sudah tau bahwa ini tidak bisa di biarkan begitu saja. Dan kau, kau bilang semua ini cukup sampai disini saja. Mau sampai kapan kalian menyangkal?"

"Tapi terlalu berisiko jika kita tetap tinggal!" Bentak Jeno, ia sampai berdiri di kursinya.

"Jadi menurut mu jika kita tidak pulang, tidak akan ada risiko apa-apa?! Lihat semua ini! Mau sampai kapan kita akan diam?! Sampai semua dari kita benar-benar kritis?!" Jaemin menyalak tidak mau kalah. "Akui saja! Hidupmu juga tidak tenang kan?! Kau mungkin bisa melaluinya, aku mungkin bisa, Mark hyung bisa, tapi bagaimana dengan yang lain?! Dengan apa mereka menjaga diri?! Kau pikir keberadaan kita akan cukup?! Jika aku tidak datang satu jam sebelum kalian, Chenle sudah pasti akan kritis akibat kehilangan banyak darah!"

Urat-urat leher Jaemin timbul, matanya memerah menahan marah, tangannya terkepal, namun kemudian ia mengalihkan pandangannya dan memejamkan matanya erat. Mungkin di luar ia bisa terlihat tenang, tapi jauh di dalam hati dan pikirannya, ia mengamuk. Tempramen nya bisa jauh lebih buruk di bandingkan siapapun.

Jeno sendiri terdiam mendengarnya. Ia tidak punya bantahan lagi, bibir bawahnya ia gigit agar tidak mengatakan hal-hal yang tidak di inginkan.

Yang paling tua, tidak berniat untuk melerai. Karena bagaimanapun, Jaemin benar. Minhyung bahkan sudah memperingatkannya. Dan inilah hasil dari keabaiannya.

Spirit Of The DreadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang