[9] whelve

482 66 17
                                    

Pagi tadi, Mark, Haechan, Chenle dan Jisung sudah berangkat ke kota guna membeli bahan bakar mobil mereka.

Tersisa Renjun, Jeno dan Jaemin di villa.

Jeno sibuk mencuci piring yang sudah mereka gunakan untuk sarapan, sementara Renjun mengumpulkan sisa makanan seperti roti tawar dan sup sayur untuk di simpan.

"Kau akan berangkat sekarang?" Tanya Jeno, tangannya masih sibuk dengan busa-busa sabun.

"Iya, mumpung masih pagi dan belum panas."

"Pastikan pulang sebelum siang dan terik ya?"

"Baiklah."

Jeno menghentikan kegiatannya dan memandang Renjun dengan serius. "Kau yakin tidak mau dirumah saja? Atau pergi dengan ku saja?"

Renjun yang saat itu berada di balik pintu kulkas menyahut, "lalu bagaimana dengan Jaemin?"

"Tidak bagaimana-bagaimana. Tinggalkan saja dia, tidak akan ada yang terjadi padanya. Bocah nakal itu salah duluan dan mulai menyusahkan orang-orang," ucapnya bersungut-sungut.

Renjun terkekeh dan menutup pintu kulkas untuk melihat Jeno lebih jelas. "Tidak apa-apa, aku pergi sendiri saja. Aku juga tidak akan pergi jauh-jauh kok. Kalau nanti ada pasar, aku akan mampir sebentar membeli seafood. Jadi, kau dirumah saja ya bersama Jaemin."

Jeno berdecak, "baiklah. Pastikan kau jaga dirimu dengan baik, oke?"

"Call!"

Setelah mengambil jaket dan topi hat, Renjun segera keluar dari villa. Dia mengambil belokan ke kanan dan mulai menikmati udara pagi. Paru-parunya terasa lega. Padahal dia sudah berharap hal-hal seperti ini bisa dia nikmati bersama sahabat-sahabatnya yang lain. Tapi apa boleh buat, mungkin itu dapat terjadi di liburan mereka selanjutnya.

Di perjalanan, Renjun bertemu dengan orang-orang desa. Sesekali dia berhenti guna berbincang sedikit dengan mereka. Mereka seperti menyenangi Renjun karena anak itu punya senyum yang manis dan tutur kata yang lembut. Tidak jarang pipinya jadi sasaran empuk ibu-ibu yang bekerja di perkebunan jagung.

"Selain jagung, kami juga punya gandum juga peternakan rusa sebagai bahan baku untuk di distribusikan ke luar kota," jelas salah satu wanita paruh baya yang Renjun temui.

"Apa ibu sekalian tidak memproduksi teh? Ini kan dataran tinggi. Pasti bisa tumbuh dengan baik."

"Aih, ada kebun teh di atas bukit sana. Sedikit agak jauh memang, tapi perkebunannya kecil, peminatnya juga kurang karena teh teh dari daerah lain mempunyai kualitas lebih baik."

"Betul, lagi pula jagung kami sudah di kenal dengan kualitas yang baik, itu sudah cukup. Tiap daerah pasti punya satu keunggulan masing-masing kan?"

Renjun mengangguk menyetujui.

"Nak Renjun apa tidak berminat untuk bekerja disini setelah lulus sarjana? Tempat ini begitu subur dan membutuhkan generasi-generasi muda seperti mu untuk mengelola nya agar tidak ketinggalan zaman." Salah satu ibu-ibu disana mencolek gemas pipi Renjun.

"Bibi benar, akan aku pertimbangkan. Akan ku bilang pada Jeno juga, teman-teman lain juga. Siapa tau kami bisa mengambil thesis dari sini."

"Aih, pak Lee begitu beruntung mempunyai anak anak baik seperti Jeno dan dirimu. Ngomong-ngomong, kenapa sendirian saja jalan-jalan nya?"

Mendapat pertanyaan begitu, Renjun membasahi bibirnya gugup. "Em...sebagian teman ku ke kota untuk membeli bahan bakar dan beberapa bahan untuk makanan. Yang lain lagi sedang sakit, dan Jeno menjaganya di villa. Jadi aku sendirian sekarang, hehe."

Spirit Of The DreadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang