Menjelang siang, Jeno memutuskan untuk menyeduh kopi. Bungkus kopi terakhir yang mereka beli kemarin.
Harusnya semua kopi itu terjatah untuk Jaemin, si pecinta kopi yang entah bagaimana bisa tetap tidur nyenyak setelah meneguk beberapa botol dari cairan coklat pekat itu. Namun sekarang, bungkusan kopi itu habis di minum para pemuda Lee. Siapa lagi kalau bukan, Mark, Haechan dan Jeno.
Inisiatif tersendiri supaya tetap terjaga dan menjaga yang lainnya ketika sudah nyenyak. Kadang-kadang, Jisung juga mencuri waktu untuk minum kopi dan mengorbankan waktu tidurnya lagi.
Hari sudah hampir pukul sebelas, sudah dua jam lebih dari kepergian Renjun keluar untuk berkeliling.
Jeno mendesis, dia melirik keluar jendela sebentar lalu bangkit dari duduknya di kursi sofa ruang tamu untuk kembali ke kamar dimana Jaemin masih terbaring. Hal yang rutin dia lakukan sejak tadi tiap lima belas menit sekali.
Masih tidak ada perubahan dari Jaemin, membuat sebuah niat terbesit dalam pikiran Jeno untuk mencari Renjun dan membawanya kembali pulang sebelum tengah hari.
Namun urung, karena dia memutuskan untuk menunggu setidaknya sampai jam sebelas. Jadi, Jeno kembali ke ruang tamu untuk membaca buku dengan hikmat.
Tidak ada yang terjadi, baik tadi malam, ataupun tadi pagi. Keadaan villa kondusif, tapi tetap tidak membuatnya tenang. Tingkahnya yang bolak-balik mengecek dapur, teras dan kondisi Jaemin seolah tidak ada hentinya tanpa rasa lelah. Takut-takut sesuatu terjadi secara tiba-tiba.
Di saat-saat tertentu, Jeno akan mengecek ponselnya untuk sekedar bertukar kabar dengan Mark ataupun Chenle. Dari kabar yang di dapatnya, mereka terjebak hujan di lima kilometer menuju kota dan sekitarnya.
Pemuda dengan rahang sempurna itu menoleh ke jendela, memicing pada cuaca cerah yang tiba-tiba saja meredup.
"Tck!" Decakan sudah keluar, tanda bahwa Jeno sudah habis dengan sabarnya. Dia berdiri lalu melangkah lebar menuju kamar, diambilnya jaket yang tergantung di balik pintu, lalu keluar setelah sebelumnya melirik Jaemin.
Baru saja membuka pintu, Jeno terlonjak kaget bersamaan dengan Renjun yang juga hendak membuka pintu dari luar.
"Astaga! Ya! Mau kemana kau sampai buru-buru begitu?!" Tanya Renjun setengah melotot.
"Tentu saja aku mau mencari mu! Hari akan mendung dan kau belum pulang!"
"Hah...ini aku sudah pulang. Ayo masuk lagi." Renjun kemudian mendorong tubuh Jeno untuk kembali masuk dan menutup pintu. "Kalau kau tadi benar pergi keluar dan mencari ku, bagaimana dengan Jaemin? Kau akan meninggalkan nya sendiri, begitu?!"
Dengusan kesal Jeno keluarkan. "Sudah ku bilang anak itu akan baik-baik saja di tinggal sebentar. Kau ini selalu memikirkan satu orang saja. Pikirkan juga dirimu sendiri, juga aku! Kau kira aku bisa duduk diam dengan tenang sementara kau tidak pulang-pulang padahal sudah mau hujan?!" Sungut pemuda Taurus itu.
"Baiklah, baiklah. Aku minta maaf. Sebagai permintaan maaf ku, aku akan berbagi ini dengan mu." Renjun mengeluarkan dua kaleng daging sapi.
Jeno berdecih, "tidak aku sangka kalau kau menilai ku semurah itu."
Untuk ucapan itu, Renjun memasang wajah memelas nya, yang dia tau, sejauh ini sangat amat ampuh untuk membujuk semua sahabatnya. "Yah...jadi kau akan membiarkan ku untuk makan sendiri, begitu?"
Mendengus, Jeno memilih membuang muka dan mengambil alih kantung belanja Renjun. "Bersihkan diri mu, lalu tunggu aku di ruang tv."
"Siap, kapten!" Renjun mengambil sikap hormat, tidak lupa di sertai dengan senyum lebar yang memperlihatkan deretan giginya yang kecil dan rapi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Spirit Of The Dread
HorrorRenjun tau, bahwa ada diantara sahabatnya yang di karuniai sebuah hal istimewa tentang bagaimana mereka bisa melihat dunia yang tidak bisa di jelaskan melalui logika manusia. Namun tetap saja, menjadi normal dan menjalani hidup dengan hal-hal biasa...