“Tak dapat dipungkiri, bahwasanya masing-masing dari hati kita masih rekat meski retak sudah merambat”
—Ilyana Prameswari
🍁🍁
Larisa menghela napasnya yang panjang. Sebatang cokelat berpita merah itu mengisi laci mejanya lagi dan lagi. Tidak dia hitung telah berapa kali Naufal melakukan ini kepadanya. Beragam penolakan tidak membuatnya putus asa untuk mendapat balasan cinta.
"Nih, makan!" Larisa menyerahkan cokelat kepada Bella yang baru datang. Sudah jam 06.20 pagi dan kelas tampak ramai. Entah pukul berapa barang itu Naufal sisipkan di lacinya.
"Takut banget kena penyakit gula gue!" Bella menerima sembari menduduki kursi. "Coba gitu sekali-kali ngasihnya cokelat Dubai."
Larisa mendengkus dan membuka kotak bekal makan paginya. Ia masih tidak melakukan sarapan pagi bersama anggota keluarga. Melihat dan bertatapan dengan Ilyana selalu membuatnya sakit hati. Ia bahkan tidak sudi lagi untuk berbagi kamar dengan Yasmina. Debyta pun, semakin tidak dia anggap keberadaannya.
Hubungannya dengan Ali juga merenggang lebih parah sejak kejadian malam itu. Sebanyak apapun Ali berusaha bertanya atau mengajaknya berbicara, ia akan selalu menganggap sang ayah tidak berada di sampingnya. Tidak ada yang dia ajak bicara selain hanya Dimas.
Namun, ia tidak melakukan itu kepada Sarah. Dua minggu terakhir —bersama Dimas— dia lebih memilih menghabiskan akhir pekan dengan menginap di indekos sang ibu sebagai cara membunuh sepi dan rindu. Hanya saja, ia dan Dimas belum bertanya apapun perihal keabsahan ucapan sang ayah yang lebih memilih Ilyana walau sangat ingin mengetahui.
Semua masih sangat sulit untuk diterima. Mendengar Sarah membenarkan pernyataan tersebut tentu akan membuat hati lebih porak-poranda. Ia dan Dimas tidak sekuat dan sesiap itu. Memupuk doa agar semuanya kembali bersama adalah satu kekuatan supaya mampu bertahan dalam alur hidup yang sangat getir ini.
Ya ... Tuhan selalu dapat memberi keajaiban dalam keadaan termustahil sekalipun. Ia masih memiliki keyakinan itu.
"Kalo nggak doyan buang!"
Bella menyengir. Disimpannya cokelat itu ke dalam tas, lalu ikut mencicipi nasi goreng Larisa. "Nggak baik buang makanan," sahutnya. "Lo nggak mau gitu sekali-kali buka hati buat dia? Kasian tau ngejar-ngejar lo dari kelas 1 sampe kelas 3 kagak dapet-dapet."
Bola mata Larisa bergulir malas. Sungguh bosan mendengar kalimat serupa yang sudah berpuluh kali Bella ucapkan. "Gue-nya nggak suka. Masa harus dipaksa!"
"Tapi, dia ngejar lo terus, Ris."
Larisa meletakkan sendok, menatap Bella meminta pendapat. "Menurut lo, gue harus ngapain?"
"Lo ngomong baik-baik coba, deh." Bella menggapai potongan buah apel yang selalu Ilyana siapkan untuk Larisa, mengunyahnya.
"Sama aja kayaknya. Dia aja yang terlalu bego. Udah gue tolak masih aja ngejar."
"Coba dulu, Njir!" Bella berseru sebal. "Kan, si Nopel taunya lo cuma nggak suka dia. Kalo lo jelasin soal Yas, siapa tau dia jadi paham."

KAMU SEDANG MEMBACA
Di antara dua wanita
Romance"Sampai pada sebuah alur yang begitu pahit, saya menyadari bahwa buah dari ketidak adilan adalah ancaman perpisahan." -Ali Syahreza _______ Original story by In_stories Credit pic : Pinterest