9. Izin Melamar

3.7K 179 14
                                    

Eh, biar lebih akrab. Panggil aku "kaa" yaaa
Happy reading

.
.
.

"Menikahlah dengan seseorang yang akan membuatmu jatuh cinta kepada Allah setiap hari."
~Ning Sheila Hasina~
.
.
.

Usai makan malam, keluarga Gus Rayyan berkumpul di ruang tengah. Salah satu kebiasaan mereka setelah seharian sibuk dengan rutinitas masing-masing.

"Gimana Ray? Setelah satu minggu kamu boyong dari pondok, seneng?" Tanya Abi Aziz pada putra sulungnya.

"Kalau dipikir-pikir, enak waktu di pondok ya, Bi."

"Kenapa?"

"Ya enak. Kalau di pondok dulu Rayyan kan nggak mikirin uang, ngaji tinggal ngaji, mau nakal tinggal nakal, kena takzir ya tinggal jalani. Beda dengan sekarang. Rayyan mau berbuat sesuatu aja, harus mikir-mikir dulu."

"Emang sekarang Mas Rayyan mikirin uang?" Tanya Ning Dila sambil mengernyit.

"Iya lah. Seminggu Mas Rayyan boyong, belum pernah loh Mas Rayyan dikasih uang jajan sama Abi. Untungnya Mas Rayyan dulu waktu di pondok kaya raya, kiriman dari Abi banyak banget. Jadi tabungan Mas Rayyan masih banyak lah. Ini di rumah malah miskin banget." Gerutu Gus Rayyan membuat seisi ruang tengah itu penuh tawa.

"Ah, Dila jadi pingin cepat-cepat mondok deh. Pasti Dila jadi kaya raya." Ucap Ning Dila membuat Gus Rayyan menimpuknya dengan bantal sofa.

"Ish! Mas Rayyan, ih!" Gerutu Ning Dila tak terima. Ning Dila balik menimpuk Gus Rayyan dengan bantal yang sama, "Ih, sakit adek!"

"Salah siapa mulai dulu?"

"Susst! Udah-udah! Lanjut ke pembahasan tadi. Mikir-mikir apa, Ray? Justru di pondok sendiri kamu melakukan apapun nggak bakal kena takzir kan?" Umi Fatimah melanjutkan pembicaraan yang tertunda oleh perkelahian mereka.

"Kena takzir sih enggak, Mi. Tapi Rayyan juga mikirin abi umi lah. Rayyan sadar belum bisa banggain abi umi, tapi Rayyan juga sadar untuk selalu menjaga nama baik Abi umi. Apalagi di depan santri-santri."

Mendengar penuturan kakaknya, Ning Dila melirik malas, "Sok-sok an banget." Gus Rayyan hendak menimpuknya kembali, namun Ning Dila buru-buru kabur ke sofa di seberangnya, tempat abi umi duduk, mencari perlindungan.

"Bisanya minta tolong umi doang," cibir Gus Rayyan. "Biarin, iri kan?" Balas Ning Dila sambil memasang wajah mengejek, merasa menang.

"Udah, udah. Dila, kamu nggak belajar? Besok ada PR nggak?" Tanya umi menengahi.

"Ada, Umi. PR matematika. Dila males banget tapi. Dila nggak paham pelajarannya, soalnya gurunya muter-muter jelasinnya." Adu Ning Dila.

"Itu mah, kamu nya aja yang susah paham. Kok malah gurunya disalahin." kata Gus Rayyan meledek. Ning Dila dibuat meledak, "Ih, nggak ya. Mas Rayyan lupa kalau adiknya ini selalu jadi juara kelas? Tahun kemarin aja nilai matematika Dila selalu mendekati sempurna kok. Tahun ini aja, pakai acara gurunya ganti. Muter-muter banget jelasinnya. Sekelas nggak ada yang paham dengar penjelasan dia."

"Dila! Siapa yang ngajarin kamu seperti itu! Yang kamu sebut dia itu guru kamu loh!" Peringat umi penuh ketegasan.

"Dila, jangan seperti itu lagi. Memang saat ini mungkin kamu belum paham, tapi kamu tidak tahu Dila. Barangkali seorang guru yang katamu tak pandai menjelaskan itu, namun berkat ketulusan dan keikhlasannya dalam mengajar dan mendidikmu bisa membuatmu faham di kemudian hari." Nasihat abi penuh kelembutan.

"Memang bisa seperti itu, Abi?" Tanya Ning Dila.

"Bisa, Dila. Mas Rayyan pernah merasakan sendiri. Dulu Mas Rayyan juga pernah mengalami apa yang kamu rasakan saat ini. Abi menasihati Mas Rayyan waktu itu sama persis dengan nasihat abi tadi ke kamu. Pingin dengar cerita Mas Rayyan?"
Ning Dila mengangguk.

Mahkota Ainayya (ON GOING)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang