34. Ngaji dengan Calon Imam

1.9K 159 51
                                    

Okey. Ada yang nungguin dari Sabtu kemarin? Padahal author kan hanya bilang 'up nya lagi Sabtu atau minggu'. Enggak menyebutkan Minggu ini atau Minggu besoknya lagi😁🙏

Tapi tenang saja. Sebagai ganti dari minggu kemarin, Minggu ini double up ya💫
Happy reading

________________

Sampai di pesantren sore hari, Naya lebih dulu menunaikan salat asar. Jamaah salat asar di pesantren sudah selesai. Karena hari ini hari Jumat, maka tidak ada kegiatan di pesantren sore hari ini. Beberapa santri menggunakannya untuk murojaah, menambah hafalan, mencuci, atau sekadar bersantai sambil menunggu antrian mandi. Ah, satu lagi. Ndongeng alias ngobrol yang tak sadar memakan banyak waktu.

Di belakang Naya, Lina terlihat duduk disana bersama Mbak Raya. Entah berbincang apa sampai beberapa kali Naya bisa mendengar gelak tawa mereka. Tak lupa jajanan yang ikut menemani mereka yang sudah tinggal setengah dihabiskannya.

"Lagi ngobrolin apa sih, kalian? Seru banget kayaknya!" Interupsi Naya sambil tangannya sibuk bekerja melipat mukena yang baru dipakainya.

Dan entah hanya perasaannya Naya saja atau memang benar, Naya bisa melihat tawa Lina mendadak berhenti berganti dengan wajah datarnya. Sementara Mbak Raya yang juga dapat merasakan perubahan Lina meringis, "Biasa, Nay! Ngobrolin masa depan." Jawab Mbak Raya sambil mengibaskan tangannya.

"Sini, Nay! Kamu habis jalan-jalan kemana sih? Cerita dong!" Kata Mbak Raya sambil menepuk-nepuk lantai di sampingnya agar Naya ikut duduk berbincang bersama. Mengabaikan Lina yang kini sok sibuk menghabiskan basreng di tangannya.

Naya duduk di samping Mbak Raya, tepat di depan Lina. "Di pesantren, emang gosipnya gimana, Mbak? Naya pergi kemana dan sama siapa?" Tanya Naya sambil mengudari ikatan rambut panjangnya lalu mengikatnya kembali.

"Biasalah, banyak sekali beritanya. Enggak tau mana yang bener atau malah salah semua. Mereka hanya sibuk menerka-nerka dan berspekulasi sih, Nay. Karena emang sebenarnya mereka enggak tau apa-apa, kan?"

Naya tersenyum. Hendak menjawab lagi, namun keburu terpotong dengan salah satu santri yang memanggil Mbak Raya. "Mbak Raya belum piket, ya?"

Mbak Raya menepuk jidatnya, "Oh iya. Mbak lupa. Astaghfirullah. Makasih udah ngingetin, ya."

Mbak Raya lalu segera bangkit, "Maaf banget, nih. Aku harus piket dulu. By by, ya."

Usai Mbak Raya pergi, tinggallah Naya dan Lina. Naya sudah hendak mengajak bicara, ketika Lina menyusul bangkit, "Aku sudah merendam pakaian. Duluan, ya." Pamit Lina membuat Naya memijat keningnya yang terasa berkeliling.

Oh Tuhan. Apapun kesalahannya, Naya harap Lina berkenan memaafkannya.

Habis maghribnya yang biasa Naya berangkat ngaji ke aula pesantren selalu dengan Lina pun, kini Lina terlihat enggan. "Nay, aku berangkat dulu."

Dan lagi-lagi Naya hanya bisa menghela nafas panjang. Akhirnya Naya memilih berangkat bersama Mbak Liza. Di perjalanan, entah mengapa semesta selalu memberikan kejutannya. Di arah yang berbeda, terlihat Gus Maqil berjalan dengan tenangnya menenteng sebuah kitab.

"Masyaallah, Naya. Itu calonnya siapa sih, damage nya enggak main-main." Kata Mbak Liza tanpa mengalihkan pandangannya dari Gus Maqil. Naya menoleh ke arah Mbak Liza sebentar. Ah, Mbak Liza sampai harus menggigit bibir bawahnya demi terhipnotis dengan sosok di depan sana.

"Ah, Nay. Teriak boleh enggak sih?"

Naya hanya mengangguk, "Boleh. Kalau Mbak Liza siap malu."

Mbak Liza mencebikkan bibirnya namun sama sekali tak mau sebentar saja mengalihkan tatapannya dari Gus Maqil. "Semoga saja tidak dibilang suul adab. Ketemu gurunya bukannya nunduk malah mantengin terus."

Mahkota Ainayya (ON GOING)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang