38. Kasih sayangnya Sang Maha Rahman

2.3K 270 179
                                    

Absen dulu.
Kalian baca ini jam berapa???

_______________

Setelah menjemput Gus Maqil dari makam, Gus Fawwaz kira mereka akan langsung pulang. Tapi ternyata, Ibu Fahima bersikeras agar tamunya tidak pulang sampai berkenan menikmati makan sore yang telah disiapkannya.

Mereka makan dengan khidmat. Dengan beralaskan karpet, mereka makan dengan lesehan. Sesekali mereka mengobrol yang didominasi oleh Gus Maqil, Gus Fawwaz, dan Mas Zidan – suami Mbak Hanum yang baru pulang dari pekerjaannya dan menyempatkan waktu untuk mampir menemui para tamu.

“Oh ya, Nay. Kamu habis ini mau langsung kembali ke pondok?” Tanya Mas Zidan yang membuat semua mata tertuju pada Naya menantikan jawabannya. Naya yang menjadi pusat perhatian memilih menjawab dengan anggukan singkat. “Iya, Mas.” Memang Naya tak kepikiran untuk di rumah sampai menginap.

Mbak Zahra ikut nimbrung, “Masa langsung ke pondok, sih? Di rumah aja dulu nemenin ibu.”

Mas Zidan mengangguk,“Bener tuh. Biar mas yang minta izin ke gusmu ini. Diizinkan kan, Gus?” Tanya Mas Zidan kepada Gus Maqil yang duduk tepat di sampingnya. Ah, Naya melupakan kalau Mas Zidan itu sangat mudah akrab dengan orang baru. Kalau kata Mbak Zahra sih, Mas Zidan itu ketua geng di pondoknya dulu. Tipikal santri nakal yang takziran menjadi makanan sehari-harinya. Haha. Tapi walaupun begitu, jangan lupakan kalau Mas Zidan adalah sosok yang eman dan mengayomi adik-adik iparnya.

Gus Maqil yang tak siap di tembak permintaan izin seperti itu mengernyit, “Gimana, Mas?”

Gus Fawwaz menyelutuk saja, “Naya izin enggak kembali ke pondok dulu, Gus. Boleh kan, pasti?”

Gus Maqil melihat ke arah Naya sebentar. Yang di tatap ternyata juga tengah melihat ke arahnya. “Iya enggak papa. Nanti saya sampaikan izinnya ke Abi dan Umi.”

“Tuh kan, enggak papa, Nay.”

Dan berakhirlah Naya mendapat izin menghabiskan waktu di rumah selama tiga hari. Lumayan untuk melepas kangen bersama ibu.

Setelah acara makan itu selesai, mereka segera pamit. Naya mengantarkan mereka ke depan rumah. Usai Bu Nyai Salamah bersalaman dengan ibu, Bu Nyai Salamah kemudian mendekat ke Naya.

“Ibu pamit ya, Nduk. Ibu seneng bisa mengenal Naya.” Kata Bu Nyai Salamah sambil tangan beliau diletakkan di kedua lengan Naya.

“Naya jauh lebih senang ditakdirkan bisa mengenal ibu. Terimakasih, Ibu.” Balas Naya yang langsung menerbitkan senyum Bu Nyai Salamah. Segera Bu Nyai Salamah membawa Naya ke dalam pelukannya.

“Kapan-kapan kamu harus main ke rumah ibuk, ya. Kalau kamu mau nikah juga jangan lupa ngundang ibu. Ibu yakin, suami kamu nanti adalah sosok hebat, insyaallah.” Kata Bu Nyai Salamah salam pelukan hangatnya.

“Nggih, amiiin amiin, ibu.” Naya mengaminkan doa itu dengan serius.

Setelahnya, Bu Nyai Salamah kembali melakukan hal yang sama seperti kemarin. Mencium pipi kanan kiri Naya dan berakhir di kening Naya penuh sayang.

Dan begitulah cerita hari itu. Naya tidak bisa mengungkapkan begitu bahagianya dia. Bisa dikenal dan disayang sedemikian rupa oleh beliau. Rumah sederhananya bisa di berkahi oleh sosok guru yang begitu dicintainya.

Selesai dengan Bu Nyai Salamah, Gus Fawwaz ikut pamit kepada ibu, Mas Zidan, Mbak Zahra. “Terimakasih ibu, Mas Zidan, dan Mbak Zahra untuk sambutan dan jamuannya. Maaf kalau kami merepotkan.”

Mas Zidan mencebik dan meninju pelan lengan Gus Fawwaz, “Gayamu, Gus. Lain waktu jangan sungkan-sungkan untuk main kesini lagi, ya.”

Gus Fawwaz memberi hormat, “Siap, Mas. Apalagi nanti kalau temen saya ini sudah resmi jadi orang sini.” Kata Gus Fawwaz sambil matanya melirik ke arah Gus Maqil.

“Ouh Gus Maqil mau jadi orang sini, ta?” Tanya Mas Zidan membuat Gus Maqil tersenyum canggung, “Doakan saja, Mas.”

Baik Gus Fawwaz maupun Mas Zidan hanya tertawa singkat dengan respon Gus Maqil tadi. Gus Fawwaz segera beralih pamit pada Naya diikuti Gus Maqil yang sedari tadi terus disampingnya.

“Pamit ya, Nay. Ditunggu double date nya.” Kata Gus Fawwaz lagi-lagi membuat Gus Maqil harus menghela nafas sabar dengan godaan sahabatnya.

Sementara Naya yang menolak paham menjawabnya dengan tersenyum, “Terimakasih, Gus. Jangan kapok rawuh disini, ya.”

Gus Fawwaz mengibaskan tangan, “Insyaallah nanti saya akan sering kesini kok, Nay. Kan temen saya ini bakal jadi orang sini. Iya enggak, Gus?” Tanya Gus Fawwaz pada Gus Maqil.

Gus Maqil hanya menjawab singkat, “Iya. Semoga.” Jawaban singkat, namun sukses membuat Naya butuh memasok udara lebih banyak. Jawaban singkat yang berhasil menciptakan derai tawa dari Gus Fawwaz, Mas Zidan, dan Mbak Zahra. Ah, sepertinya baik Mas Zidan maupun Mbak Zahra sudah bisa membaca apa yang terjadi antara mereka. Sementara Ibu Fahima sudah dari tadi mengantar Bu Nyai Salamah ke mobil.

Gus Fawwaz berusaha menghentikan tawanya, “Pamit dulu gih, sama calon.” Ucap Gus Fawwaz menatap Gus Maqil penuh jenaka.

Gus Maqil yang sudah merasa terlanjur basah, memutuskan sekalian tenggelam saja. “Naya. Saya pamit dulu, ya.” Kalimat sederhana sebenarnya. Namun salahnya,  Gus Maqil mengucapkannya dengan terlampau lembut dan sepenuh hati sampai membuat Gus Fawwaz membelalakkan mata.

“Aww. Meleleh adek, Bang.” ungkap Gus Fawwaz kembali menciptakan tawa Mas Zidan dan Mbak Zahra.

Gus Maqil hanya melirik sinis Gus Fawwaz. Awas saja, tunggu balasannya.

“Saya beri kamu waktu 3 hari di rumah. Jangan sampai ngaret berangkatnya.” Kata Gus Maqil.

Gus Fawwaz lagi-lagi menyelutuk, “Jangan kelamaan di rumah, Nay. Nanti ada yang rindu.”

Ah, sudahlah. Baik Gus Fawwaz, Mbak Zahra maupun Mas Zidan sudah terlalu lelah untuk tertawa. Gus Maqil pun sudah terlalu besar rasa malunya. Naya? Sudah terlalu sibuk menahan napas.

Gus Maqil tak merespon lagi dan memilih segera melangkah menuju mobilnya terparkir. Hendak masuk di bagian kiri, namun segera dicegah oleh Gus Fawwaz. “Sesuai kesepakatan tadi. Saya sudah berbaik hati cerita, maka njenengan yang jadi supir lagi kali ini.”

“Kesepakatan apa? Saya tidak mengatakan sepakat tadi.” Ah, sudah cukup Gus Maqil hari ini kalah dengan Gus Fawwaz. Maka Gus Maqil tidak akan lagi membuat Gus Fawwaz menang lagi. Tidak akan Gus Maqil biarkan.

Sebelum Gus Fawwaz protes lagi, Gus Maqil segera masuk di pintu mobil bagian kiri. Gus Fawwaz berdecak namun kemudian tak bisa protes lagi. Dengan terpaksa Gus Fawwaz yang menjalankan kemudian kali ini.

Sebelum mobil bergerak melaju, Gus Maqil membuka kaca mobil, begitu pula dengan Bu Nyai Salamah. Berpamitan kembali dengan anggukan kepala kepada keluarga Naya. Terakhir kali, Gus Maqil kembali bertubrukan pandang dengan gadis itu. Gadis yang entah sudah berapa lama bertahta indah di hatinya. Gus Maqil memberi anggukan singkat – tentu dengan senyum paling tulus yang diterbitkannya, dibalas hal yang serupa oleh sang gadis. Ah, dia. Senyum teduh yang begitu menenangkan dan menghipnotisnya sungguh membuat Gus Maqil ingin cepat-cepat menghalalkannya.

Mobil terus melaju, membuat kontak mata itu harus terputus. Gus Maqil kembali menatap depan, sambil menghembuskan nafas syukurnya.

Alhamdulillah. Terimakasih untuk ketetapan-Nya hari ini. Hari yang awalnya Gus Maqil sangka menjadi hari paling menyedihkan karena harus menyaksikan gadis yang dicintainya menerima pinangan seseorang, menjadi hari yang begitu Gus Maqil syukuri. Setelah ini, Gus Maqil akan semakin mantap untuk melangkah memperjuangkannya. Hari ini, Gus Maqil memahami, bahwa mungkin, namanya lah yang bersanding dengan nama Ainayya di lauhul Mahfudz-Nya. Bukan orang lain.

Entah bagaimana lagi Gus Maqil harus bersyukur atas setiap kasih sayang-Nya.

____________
To be continued

M

aaf, kalau kalian merasa part ini lebih pendek dari biasanya. Karena 3 hari kemarin dari Jumat sampai ahad full acara PKD (Pelatihan Kader Dasar) Se prodi IAT.

180 vote dan 150 komen, lanjut!

Pkl, 14 Oktober 2024
23.33

Mahkota Ainayya (ON GOING)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang