39. Wacana untuk Esok

775 166 103
                                    

Usai mobil melaju membawa tamu istimewa itu meninggalkan halaman rumah dan mengantarkannya sampai tak terlihat oleh pandangan mata, Mbak Zahra yang ada di tengah-tengah antara Ibu Fahima dan Naya merangkul mereka.

“Ibu. Sepertinya putri ibu sudah banyak yang ngantri.” Kata Mbak Zahra.

Ibu mengernyit, “Memangnya siapa lagi?”

“Yang tadi bareng Gus Fawwaz, Bu.” Jawab Mbak Zahra sengaja menggoda Naya.

Mereka yang sudah sampai di ruang tamu memutuskan duduk disana sekadar menghabiskan waktu bersama sebelum Mbak Zahra dan Mas Zidan harus segera kembali ke rumah mereka.

“Gus Maqil?” Tanya Ibu Fahima yang kali ini memandang Naya meminta putrinya itu yang menjawabnya sendiri.

Naya yang hendak memasukkan keripik pisang ke dalam mulutnya itu terpaksa harus menundanya demi menjawab pertanyaan Ibu Fahima, “Enggak tau, Bu.”

“Halah enggak boleh gitu tau, Nay. Masa sama ibu nya sendiri enggak mau terbuka.” Balas Mas Zidan sambil menyerahkan buah pir yang telah di potongnya kepada Mbak Zahra.

Naya yang merasa terpojok meminta bantuan ibu. “Bu. Tolongin Naya, dong.” Kata Naya memelas sambil bersandar di pundak ibu.

Ibu Fahima tertawa kecil namun tetap mengindahkan rengekan putri kecilnya itu. “Sudah, sudah. Kasihan adikmu baru pulang dari pondok langsung kalian godain gitu.”

Namun rupanya, Mbak Zahra belum puas menjahili Naya. “Kamu kalau di pondok sering di kasih cokelat apa jajanan gitu pasti ya, Nay?” Tanya Mbak Zahra hanya sekadar mengarang cerita namun sayangnya benar adanya.

“Ah, harusnya aku dulu mondok aja ya, Mas? Biar bisa kaya Naya yang dapetin gusnya.” Kata Mbak Zahra lalu tertawa. Mendapati Mas Zidan yang melirik sinis, Mbak Zahra tertawa kemudian meraih lengan milik suaminya tersebut dan menjatuhkan kepalanya di pundak kokoh tersebut. “Bercanda ih, Mas!”

“Dilarang beradegan dewasa di depan anak kecil.” Protes Naya yang dibalas tawa tak berdosa mereka.

Mbak Zahra menyahut, “Makanya cepet nikah, ih!”

“Otw, Mbak.” Jawab Naya asal.

Ibu Fahima tersenyum, “Ternyata putri ibu yang satu ini sudah besar, ya. Perasaan baru kemarin ibu gendong kamu.” Kata Ibu Fahima sambil tersenyum ke arah Naya.

“Gimana perasaannya di sukai gus nya sendiri, Nay?” Tanya Mas Zidan yang belum puas menjahili Naya.

Dan begitulah sore itu mereka habiskan. Ibu Fahima tersenyum penuh syukur melihat kehangatan langka ini. Walaupun relung hati Ibu Fahima masih menyisakan ruang kesedihan, bahwa putra putrinya tak semuanya berkumpul disini. Ah, kalaupun semuanya kumpul, Ibu Fahima yakin mereka juga tak akan berinteraksi sehangat ini. Ya Tuhan. Bagaimana caranya menyatukan mereka? Sungguh itu menjadi PR besar untuk Ibu Fahima.

***
Dulu, di waktu setelah isya seperti ini, ketika Abah masih bersama keluarga Naya, rumah ini tak pernah sepi dengan suara anak-anak yang menggemakan nadhom aqidatul awam, tasrifan, atau bacaan jurumiyah.

Semenjak kepergian Abahnya, Naya begitu merasa sepi. Tak ada lagi lantunan nadhom yang menggema atau sekadar celotehan ringan anak-anak. Rasa rindu pada lantunan merdu nadhoman juga lah yang membuat Naya kecil semenjak kepergian Abah ingin cepat-cepat mondok. Sekadar melepaskannya dari rindu yang begitu membelenggu.

Lama menghabiskan waktu di pondok, kemudian kembali rumah, membuat Naya kembali diingatkan dengan keceriaan dulu. Setiap sudut rumah ini selalu mengingatkannya bagaimana sosok Abahnya begitu menjadi menjadi sosok yang begitu Naya syukuri menjadi orang tuanya, tanpa Naya meminta kriterianya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 2 days ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Mahkota Ainayya (ON GOING)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang