7. Bidadari Pesantren

3.5K 182 9
                                    

"Jika kamu memulai karena Allah, maka jangan menyerah karena manusia."
~KH. Bahauddin Nur Salim~
.
.
.

Disinilah Naya sekarang. Disebuah kebun belakang asrama putri. Tempatnya sejuk, damai, dan hening jauh dari kebisingan. Cocok sekali untuk menenangkan diri. Sepoi angin yang menyapu wajahnya membuat hatinya sedikit membaik.

Ia menunduk dan menutup wajahnya dengan telapak tangannya. Entah sudah berapa lama ia menangis disana, sampai terdengar sebuah suara menegurnya, "Ehem," dehem suara tersebut.

Naya segera mengangkat wajah, tak percaya ada orang lain disini. Setelah mengangkat wajah, sepasang bola mata lelaki yang menegurnya tadi membulat, terkejut karena tak sengaja melihat mata Naya yang sudah membengkak juga ada jejak air mata di sudut matanya.  "Kang Rahman, kok disini?" Tanya Naya dengan suara serak.

"Tadi lagi jemur pakaian di belakang ndalem. Terus nggak sengaja liat ada santri disini. Tadinya mau negur kirain sengaja lagi bolos kegiatan. Ternyata lagi nangis." Kebun belakang asrama putri ini memang menyambung dengan halaman belakang ndalem, tempat yang biasa digunakan untuk menjemur pakaian.

Kang Rahman sendiri itu abdi ndalem yang biasa mencuci pakaian ndalem. Salah satu santri tulen kepercayaan abi umi. Sudah terkenal seantero pesantren tentang keteladanan Kang Rahman ini. Orangnya ramah, rajin, tekun, taat dan khidmahnya pada guru tidak diragukan lagi. Maka tak heran kalau Kang Rahman menjadi tangan kanan kepercayaan keluarga ndalem.

"Saya tidak tau seberat apa masalahmu sampai mata kamu bengkak seperti itu, Mba Naya. Tapi kalau mau nangis, saran saya lihat-lihat jam juga. Sudah jam setengah sembilan, bentar lagi masuk kelas. Kalau mau bolos, jangan sampai ketahuan. Tapi Mba Naya sudah ketahuan dulu, jadi nggak bakal bisa bolos." Ucap suara itu membuat Naya sedikit tersenyum mendengar kalimat terakhirnya.

"Pulanglah, Mba Naya. Siap-siap ngaji. Mba Naya sepertinya butuh mengisi energi positif dengan mengaji." Kata Kang Rahman dengan memandang ke arah lain selain memandang ke arah gadis rapuh itu. Sama dengan Naya yang menjaga pandang dengan menunduk.

Naya tersenyum tipis dalam tundukannya, kemudian berdiri, "Maturnuwun, Kang."

"Sami-sami."

"Tapi, boleh saya minta njenengan tidak menceritakan apapun yang panjenengan lihat disini kepada siapapun?"

"Tidak boleh menceritakan kalau njenengan lagi nangis? Tenang saja, saya bukan termasuk orang yang suka bergosip."

Naya tersenyum, "Maturnuwun sanget, Kang."

"Lain kali, jangan menangis sendiri. Jangan sok kuat sendiri. Setidaknya kamu butuh seseorang yang mau mendengar kesedihanmu. Kamu tidak akan terlihat lemah karena menceritakan tangismu atau kesedihanmu kepada orang lain, justru kamu terlihat kuat karena berani membaginya."

Sekali lagi, Naya tersenyum. Kemudian segera pergi setelah mengucap terimakasih kesekian  kalinya.

***
Langit gelap. Suasana pesantren sudah jauh dari hiruk pikuk para santri. Sudah jam sebelas malam, semua kegiatan hari ini telah usai. Seorang lelaki terlihat melangkah dengan pasti ke perpustakaan pesantren. Sampai di depan perpustakaan, ia sedikit heran ketika mendapati pintu perpustakaan yang masih terbuka lebar, padahal jam 10 malam perpustakaan sudah harus ditutup. Tak berguna kunci perpustakaan di genggamannya yang ia bela-belain minta pada Abah.

Ia segera masuk ke ruangan penuh ilmu itu. Matanya yang tajam namun penuh kelembutan, kefokusannya mencari kitab, dan ketenangannya dalam membuka lembar demi lembar kitab yang dipilihnya benar-benar membuat putra sulung pemilik pesantren Darul Ilmi itu penuh wibawa dan kharisma.

Mahkota Ainayya (ON GOING)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang