19. Syafakallah, Gus

3.3K 254 33
                                    


ALHAMDULILLAH AKHIRNYA BISA NEPATIN JANJI BUAT UP. PADAHAL BARU 3 HARI LOH INIIIIIIIIII

MAU TAHU DONG, APA YANG MEMBUAT KALIAN BERTAHAN BACA CERITA INI PADAHAL MUNGKIN KALIAN BOSEN BANGET NUNGGU CERITA INI UPDATE

__________________________

Selepas Abi, Umi, dan Gus Maqil mengantar kepulangan rombongan Abah Yai Athoillah, mereka kembali duduk di ruang tamu.

"Gimana perasaannya sekarang? Aman?" Tanya Umi meledek Gus Maqil.

"Sedikit khawatir."

Umi mengernyit, "Kok Cuma sedikit? Berarti nggak papa nih, kalau Naya sama Gus Fawwaz?"

"Bukan begitu, Mi. Maqil tahu, sebenarnya Gus Fawwaz itu sudah punya pilihan sendiri." Gus Fawwaz itu gus di pesantrennya Gus Maqil waktu mondok di Semarang. Gus Maqil bukan sekadar mengenal Gus Fawwaz, Gus Maqil dan Gus Fawwaz sudah berteman akrab. Di pondok Abah Yai Athoillah, mereka menjadi idaman santri putri.

"Kalau Gus Fawwaz sudah punya calon sendiri kenapa Bu Nyai Salamah tadi malah meminta Naya untuk Gus Fawwaz?" tanya Abi.

"Pilihannya Gus Fawwaz itu perempuan yang tidak memiliki background pesantren, Bi. Jadi Bu Nyai Salamah tidak setuju kalau Gus Fawwaz sama dia."

Abi dan Umi mengangguk paham. "Intinya Kamu yakin Gus Fawwaz tetap akan memperjuangkan pilihannya sendiri?" tanya Umi.

"Gus Fawwaz itu ahlinya soal meyakinkan seseorang. Juga bukan orang yang mudah menyerah begitu saja."

"Tapi tadi katanya kamu masih sedikit khawatir? Berarti kamu masih ada sedikit rasa pesimis Gus Fawwaz tidak bisa meyakinkan Bu Nyai Salamah?" tanya Abi.

Gus Maqil mengulum bibirnya, "Sedikit, Bi. Tapi nanti pas Kami ke Kalimantan bareng, Maqil coba mau bicara sama Gus Fawwaz." Kedatangan Abah Yai Athoillah tadi juga bukan hanya sekadar mampir, namun juga hendak mengajak Gus Maqil pergi besok lusa ke Kalimantan, menghadiri acara bahtsul masail yang dihadiri kyai-kyai besar dari berbagai daerah.

Abi mengangguk paham. Sejenak ruang tamu itu hanya diisi oleh keheningan. Baik abi, umi, maupun Gus Maqil sibuk dengan pikirannya masing-masing.

"Bi, memang tidak bisa kalau tidak perlu menunggu Naya khatam? Kalau Abi khawatir Naya tidak bisa fokus, biarkan menjadi nikah rahasia tanpa Naya tahu." Gus Maqil memecah keheningan, mencoba mengutarakan pikirannya.

"Bagaimana, Bi? Ada benarnya juga apa yang dikatakan Maqil. Lagian perkara yang ditunda-tunda itu tidak baik kan, Bi? Daripada Maqil nya makisat terus karena curi-curi pandang juga."

Abi mengangguk, "Abi juga setuju. Jadi sekarang tugasmu hanya tinggal sowan ke mbah yai, meminta restu." Maksud Mbah Yai yang dikatakan abi itu Mbah Yai Ahmad, kakeknya Gus Maqil, abi nya abi yang masih sugeng dan mengurus pesantren beliau di Jawa Timur.

"Beneran, Bi?" tanya Gus Maqil tak bisa menyembunyikan kebahagiaannya yang dibalas abi dengan anggukan.

Melihat wajah bahagia putranya, umi ikut tersenyum, "Ah, serius anak umi yang ini sudah mau nikah? Terharu banget umi. Sini peluk umi, sebelum nanti kamu lebih sering dipeluk istri kamu."

Gus Maqil tertawa, tapi tetap menuruti sang umi dengan memeluk wanita yang telah melahirkannya ke dunia itu.

"Jadi, kapan kamu mau ke Mbah Yai?" tanya Abi membuat umi dan Gus Maqil menyudahi acara pelukan hangat itu.

"Mungkin setelah Maqil pulang dari Kalimantan, Bi."

Abi mengangguk lalu bangkit dan menepuk pundak Gus Maqil, "Semangat, dan jangan lupa melibatkan Allah dalam setiap urusanmu."

Mahkota Ainayya (ON GOING)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang