27. Sowan Mbah Yai

3.3K 294 223
                                    

Di keheningan malam, dari balkon lantai 3 pesantren putri, Naya memandangi halaman depan ndalem. Di sana, Naya bisa melihat mobil yang sudah di nyalakan siap dikemudikan. Di luar mobil, ada seseorang yang entah sejak kapan memenuhi pikiran dan hatinya.

Naya bisa melihat, bagaimana beliau mencium tangan - berpamitan kepada Abi dan uminya. Lalu sosok itu melangkah yakin menuju mobilnya. Tak lama dari itu, mobil tersebut telah melaju meninggalkan pelataran ndalem pesantren Darul Ilmi. Bersamaan dengan itu, setetes bening begitu lancangnya turun membasahi pipinya.

Masih terekam jelas, bagaimana ucapan Mbak Aula waktu itu, dan tatapan tajamnya tadi siang di ndalem ketika Naya baru keluar dari kamar Ning Dila. Dan masih terekam jelas, bagaimana santri-santri yang menghina dan merendahkannya waktu itu -- bahkan sampai saat ini. Lalu jika sudah seperti itu, masihkah pantas Naya dengan Gus Maqil? Akan seperti apa penolakan dan penentangan mereka nantinya?

Abah, benarkah dia. Sosok yang Abah cari? Sosok yang Abah maksud bisa meneruskan perjuangan dan cita-cita Abah?

***

"Tumben kamu kesini. Ada angin apa ini?" Tanya Mbah Yai setelah sampai di halaman belakang ndalem yang di penuhi oleh pemandangan hijau rumput dan pepohonan rindang membuat kesan asri.

Sejak tadi subuh Gus Maqil sampai di pesantren Mbah Yai sampai sekarang -- jam 3 siang -- Gus Maqil baru bisa berkesempatan meminta waktu Mbah Yai untuk menyampaikan niat kedatangannya.

Gus Maqil yang tadi mendorong kursi roda Mbah Yai, kini mengambil duduk beralaskan rumput disamping bawah beliau. Kini mereka menjadikan kolam ikan sebagai objek pemandangan mata dan gemericik syahdu suara airnya sebagai alunan musik yang ikut menemani obrolan mereka.

"Mbah seperti mencium bau-bau sesuatu. Sejak kapan seorang Maqil Rayyan Al-Hafidz mau mengunjungi Mbah tanpa diperintah dulu?" Sindir Mbah Yai Ahmad, membuat Gus Maqil tertawa mendengarnya.

"Hehe, Ngapunten, Mbah. Cucunya Mbah yang satu ini hanya terlalu sibuk mencari ilmu."

Mendengar jawaban cucunya tersebut, Mbah Yai melirik sinis ke arah Gus Maqil, "Gayamu, Le, Le! Sibuk cari ilmu sampai lupa masih punya Mbah. Begitu?"

Lagi, Gus Maqil tertawa mendengar sindiran Mbah Yai.

"Ah, Mbah tau. Kamu bukannya sibuk mencari ilmu. Tapi sibuk menahan perasaan pada perempuan. Iya kan?" Tembak Mbah Yai.

Gus Maqil tersenyum tipis. Tanpa harus pusing bagaimana caranya mengutarakan niat kedatangannya, Mbah Yai sudah lebih dulu memancingnya.

"Mbah kok tau?"

"Perempuan mana yang tidak beruntung disukai olehmu itu?"

Entah sudah berapa kali Gus Maqil tertawa mendengar gurauan Mbah yai. Begitulah Mbah Yai. Selalu bisa membuat lawan bicaranya nyaman dan betah mengobrol dengan beliau.

"Namanya Ainayya Fathimatuzzahra, Mbah." Satu kalimat yang berhasil diucapkan Gus Maqil setelah menarik nafas panjang mengumpulkan keberanian.

Mbah Yai mengangguk dan tersenyum, "Alhamdulillah. Mbah enggak nyangka cucunya Mbah tau-tau sudah mau nikah saja. Mbah kembali disadarkan kalau Mbah itu sudah tua."

Gus Maqil tersenyum dan menatap Mbah Yai, "Jadi Mbah Yai setuju?"

Mbah Yai mengangguk, "Kalau kamu siap, kamu tak akadkan hari ini juga bisa."

Gus Maqil mencari kebercandaan dalam perkataan Mbah tersebut, namun nihil, Gus Maqil hanya menemukan keseriusan disana.

"Bener, Mbah?"

"Kamu meragukan keseriusan, Mbah?"

Mendengar itu, Gus Maqil tak bisa lagi menahan untuk tidak tersenyum. Bibirnya bergerak mengucapkan hamdalah berulang kali.

Mahkota Ainayya (ON GOING)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang