25. Kepulangan Gus Maqil

3K 306 201
                                    

padahal waktu terakhir buka wp komennya baru 30. buka lagi di hari berikutnya ternyata udah tembus target. kalian gercep banged ya👌

___________________________

Perkataan Mbak Aula entah kenapa selalu terngiang dalam pikiran Naya. Bagai kaset yang diputar berulang-ulang. Seharusnya jika Naya tak memiliki perasaan apa-apa dengan Gus Maqil, Naya tak perlu terlalu memedulikan perkataan Mbak Aula kan? Tapi nyatanya, perkataan Mbak Aula itu begitu memenuhi pikirannya. Jadi, benarkah nama Maqil Rayyan Al-Hafidz telah bertahta indah di hatinya? Siapa dirinya hingga seberani itu menaruh rasa kepada beliau? Sungguh Naya takut kecewa.

Malam itu, Naya yang berniat tidur agar tengah malam nanti bisa terbangun untuk bermunajat, gagal sudah. Daripada hanya matanya memejam tapi nyatanya pikirannya belum mau dibawa ke alam mimpi, Naya memilih bangkit. Mengambil air wudu, menghadap tuhannya, dan memasrahkan setiap urusannya, termasuk urusan hatinya. Sungguh, berperang dengan hati dan pikirannya itu cukup melelahkan. Hati yang memerintah agar membiarkan rasa itu tetap tumbuh indah, dan pikirannya yang selalu menolaknya.

Naya tak ingin perasaan ini mengganggunya hingga membuat hafalannya terlupakan begitu saja. Perasaan ini hadir begitu menyita waktu, tenaga, dan pikirannya. Naya hanya ingin memenuhi hati dan pikirannya dengan qur'an, qur'an, dan qur'an. 

Naya berusaha menenangkan hatinya yang kacau dengan membuka qurannya. Karena tak dapat di pungkiri, alquran adalah obat dari setiap penyakit. Termasuk obat dari kekacauan hatinya sekarang. Terlalu larut dengan bacaannya, sampai Naya tak sadar derai air matanya telah membasahi quran kecil kesayangannya hadiah dari Sang Abah.

***

Beberapa hari ini, Naya hanya menghabiskan waktunya di asrama. Bahkan sejak Naya sowan ke umi malam itu dengan Mbak Liza, Naya sama sekali belum menginjakkan kaki lagi di ndalem. Selain Naya memang hendak memperbaiki namanya di asrama dan sedikit mengurangi intensitas bertemu dengan Mbak Aula, umi maupun Ning Dila juga belum pernah memanggilnya lagi.

Ketika Naya hendak bangkit karena pengajian bandongan malam bersama abi telah usai, Mbak Ghina menghampiri.

"Nay!" sapa Mbak Ghina sambil menepuk pelan pundak Naya.

"Dalem, Mbak!"

"kenapa nggak pernah ke ndalem akhir-akhir ini?"

"umi enggak manggil Naya, Mbak."

Mbak Ghina berdecak, "ya nggak usah menunggu di panggil umi juga kali. Sekali-kali lah, main sama Mbak Ghina."

"Naya mau fokus sama hafalan dulu, Mbak. Biar tahun ini bisa ikut wisuda." Alibinya.

"Ya kalau alasannya begitu Mbak Ghina enggak bisa protes sih. Tapi setidaknya kamu besok harus ke ndalem."

Naya mengernyit, "kok?"

"kamu belum tahu? Gus Maqil besok pulang loh."

Ah, soal itu. Naya sudah dengar juga dari Mbak Liza. "Terus kalau Gus Maqil pulang, Naya harus apa, Mbak?"

"Ya sambut dong, sebagai calon istri yang baik." kata Mbak Ghina, selalu dengan godaannya.

Naya tersenyum getir mendengar itu. Calon istri? Mungkin semesta hanya akan menertawakan lelucon itu.

***

Gus Maqil pulang di jemput oleh Kang Burhan dari pesantren Abah Yai Athoillah. Sepanjang perjalanan, terbayang olehnya wajah teduh milik Ainayya yang akan turut menyambutnya. Sudah satu minggu tak melihatnya, rindunya sudah menuntut temu.

Dan entahlah, hatinya diliputi gelisah. Gus Maqil merasa umi dan adiknya tengah menyembunyikan sesuatu. Dari kemarin-kemarin setiap kali telepon, Gus Maqil dapat melihat mendung di wajah umi. Gus Maqil tahu, umi tengah menyimpan kesedihannya. Umi seperti hendak membicarakan sesuatu, tapi ketika Gus Maqil meminta umi bercerita, umi selalu menolaknya. Gus Maqil paham, mungkin umi hanya mau putranya itu fokus dulu dengan kegiatannya di luar Jawa kemarin – tak mau mengacaukan fokusnya dengan masalah-masalah yang terjadi.

Mahkota Ainayya (ON GOING)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang