28. Antara Dua Hati

3.4K 278 244
                                    

Maaf ya, baru bisa update. 

Kalian baca ini jam berapa guys???

__________________

Salat asar kali ini terasa berbeda dari biasanya. Usai salat berjamaah bersama para santri dengan Mbah Yai sebagai imamnya, Gus Maqil mulai mengadu gundah di hatinya kepada siapa lagi kalau bukan kepada Sang Maha Rahman.

Hatinya bergejolak. Dalam doa panjangnya, Gus Maqil tersedu. Meminta petunjuk bagaimana beliau harus melangkah kedepannya. Benarkah beliau harus menyerah begitu saja? Ah, tidak. Semuanya harus di perjuangkan. Gus Maqil tahu, semua pasti ada jalan keluarnya. Ainayya Fathimatuzzahra. Namanya akan selalu ada di setiap doanya.

***

Di belahan bumi yang lain, belum selesai Naya merampungkan bacaan wirid selepas salat asar, Mbak Raya memanggilnya.

"Nay, dipanggil umi ke ndalem sekarang! Katanya ada seseorang yang mau ketemu kamu."

Naya mengernyit, "Siapa, Mbak?"

Mbak Raya mengangkat kedua pundaknya, "Mbak Raya juga enggak tahu, Nay. Tapi katanya kamu harus cepat."

Naya mengangguk lalu segera bergegas menuju ndalem. Setelah sampai di ndalem lewat pintu belakang dan melewati dapur, Naya malah berpapasan dengan Mbak Aula yang berjalan dari tuang tamu dengan membawa nampan -- mungkin Mbak Aula baru saja menghantarkan minuman ke tamunya. Melihat Naya, Mbak Aula melirik sinis, "Setelah ini, kita harus bicara lagi!"

Setelah mengatakan itu, Mbak Aula langsung pergi begitu saja. Naya hanya bisa menarik nafas panjang dan melanjutkan niat awalnya menemui tamu. Biarlah Mbak Aula Naya pikir nanti. Sampai di ruang tamu, Naya mendapati Abi dan umi disana. Dan dua lagi -- Bu Nyai Salamah dan Mbak Sarah -- santrinya.

"Lah ini yang ditunggu-tunggu sudah datang." Kata Bu Nyai Salamah terlihat sangat sumringah.

Naya segera mengambil tangan Bu Nyai Salamah untuk diciumnya. Lagi, seperti pertama kali bertemu, Bu Nyai Salamah kembali mengusap kepala Naya sambil mendoakan, "Barokalllah."

Barokalllah = semoga Allah memberkahi mu.

"Yasudah, Pak Yai, Bu Nyai. Biar tidak terlalu sore, Saya izin bawa santrinya njenengan ini sekarang, nggih." Pamit Bu Nyai Salamah pada Abi dan umi.

"Nggih, Bu Nyai, monggo." jawab Umi seramah mungkin.

Mengerti Naya belum mengerti apa-apa, umi segera menjelaskan, "Kamu diajak Bu Nyai Salamah jalan-jalan." Kata umi sambil tersenyum.

Benak Naya bertanya-tanya. Ada apa lagi ini?

Setelah Bu Nyai Salamah pamit, Naya ikut pamit kepada umi. "Hati-hati ya, Nduk." Ucap umi sambil menepuk pelan pundak Naya mengisyaratkan sesuatu.

Dan disinilah Naya sekarang. Duduk di mobil bermerk -- yang harganya selangit -- dengan Bu Nyai Salamah di sampingnya. Sementara yang duduk menjalankan kemudi yaitu Mbak Sarah -- sopir khusus Bu Nyai Salamah.

Sepanjang perjalanan, Bu Nyai Salamah selalu bertanya. Tentang alamat rumah Naya, orang tuanya, keluarganya, hafalannya, dan sampai dimana Bu Nyai Salamah bertanya, "Oh ya. Katanya Bu Nyai Fatimah dulu, sudah ada seseorang yang mau serius sama kamu. Siapa dia, Nduk?"

Mendengar itu, Naya mengernyit. Tapi tiba-tiba saja pikirannya teringat pada satu nama. Dia. Yang tadi malam katanya rela pergi jauh untuk meminta restu Mbah Yai untuk menghalalkannya. Tapi entahlah, Naya masih sulit percaya.

Akhirnya Naya memilih tersenyum menjawab Bu Nyai Salamah, "Naya kurang tahu soal itu, Bu."

Naya memanggil Bu Nyai Salamah dengan Ibu -- tanpa embel-embel Bu nyai -- seperti yang diminta Bu Nyai Salamah sendiri.

Mahkota Ainayya (ON GOING)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang