18. Tamu Agung

3K 222 30
                                    

"Mba Ghina pingin cokelat nggak?" tanya Naya ketika lagi-lagi mereka duduk satu bangku di kelas.

"Memang kamu punya cokelat?"

Naya mengangguk, "Punya. Tapi tolong Mba Ghina jangan heboh, ya."

Karena mengira Naya hanya punya satu batang cokelat, Mba Ghina mengibaskan tangannya. "Santai."

Naya mulai mengeluarkan satu pak cokelat yang sama sekali belum Naya buka yang sengaja Naya bungkus dengan kresek hitam agar tidak terlalu mengundang perhatian.

Melihat cokelat yang ternyata ada satu pak - bukan satu batang, pupil mata Mba Ghina melebar, "Naya, kamu – " Suara Mba Ghina menggelegar, membuat Naya dengan cepat menempelkan jari telunjuk ke bibir, memberi isyarat agar Mba Ghina tak perlu heboh.

Mba Ghina menunutut penjelasan, "Dari siapa?"

"dari Ning Dila."

"nggak percaya."

"kok nggak percaya? Memang dari ning Dila, Mba."

Mba Ghina mengangguk, "Oke, coba jelaskan. Dengan alasan apa ning Dila ngasih kamu cokelat sampai satu pak gini?"

Naya mengedikkan bahu, "Katanya sih hanya sebagai ungkapan maaf dan terimakasih nya karena kemarin sudah nemenin Dila belajar dan tidur."

Mba Ghina mengernyit, "alasan apaan itu. Perasaan Mba Ghina atau Mba Aula yang diganggu setiap hari aja nggak pernah dikasih apa-apa sama Ning Dila sampai seniat itu. Mentok-mentok ya Ning Dila cuma ngasih satu batang cokelat. Itu pun karena Mba Ghina yang minta dulu."

Lagi-lagi, Naya hanya mengedikkan bahu. "Enggak tahu. Jadi Mba Ghina mau cokelat ini nggak?"

"Maulah, masa nolak. Ini Mba Ghina yang buka, ya. Barangkali ada surat cinta di dalamnya." Kata Mba Ghina lalu terkekeh.

Naya mengangguk saja. Membiarkan Mba Ghina menuntaskan asumsinya itu.

"ih, kok nggak ada suratnya sih." Kata Mba Ghina kecewa ketika tak mendapati apa yang dicarinya.

"ya memang nggak akan ada, Mba."

"okelah. Mba Ghina minta cokelatnya tiga, ya?"

"bagi dulu sekelas. Kalau sudah kebagian semua, sisanya buat Mba Ghina semua deh sama Tia."

"ih, beneran? Syukron, Nay. Sering-sering begini,ya."

"Tapi jangan bilang cokelatnya itu dari Naya dikasih Ning Dila ya, Mba. Bilang saja intinya dari Ning Dila."

Dan berakhirlah cokelat itu dibagikan ke seluruh penghuni kelas. Setelah seisi kelas mendapat cokelat itu, sambil membuka bungkus cokelatnya, Mba Ghina memulai bercerita, "Tahu nggak, Nay. Bener loh Gus Maqil nggak pernah meminta Mba Aula atau Mba Ghina bikinin kopi. Palingan cuma Kang Rahman yang biasanya diminta buatin kopi untuk beliau."

"Nay, siap-siap, ya." Kata Mba Ghina sambil menepuk pundak Naya.

"Siap-siap apa?"

"Siap-siap jadi bu nyai nya Darul Ilmi." Kata Mba Ghina lalu tertawa.

***

Kata abah, ketika seorang guru memanggil santrinya, itu adalah suatu bentuk proses transfer ilmu. Maka beruntunglah santri yang sering dipanggil sang guru. Semakin sering dipanggil, akan semakin banyak pula transferan ilmu dari sang guru yang ia dapatkan.

Kali ini, lagi-lagi Naya dipanggil umi. Naya dimintai tolong ikut menyiapkan jamuan untuk Abah Yai Athoillah dan Bu Nyai Latifah, abah kyai dan ibu nyai nya Gus Maqil waktu mondok di Semarang yang hendak rawuh ke pondok santrinya ini. Katanya, beliau baru saja menghadiri acara di daerah dekat sini, maka beliau sekalian mampir mengunjungi pesantren salah satu santrinya ini.

Mahkota Ainayya (ON GOING)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang