Bram Si Duda Mesum

1.9K 102 2
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Setelah kepergok Aska, Geina merasa sangat malu kepada Aska, juga kepada Bram. Berbeda dengan Bram yang justru malah semakin terang-terangan menggodanya di depan umum.

"Ayo kita nonton."

Geina mengedip-ngedipkan matanya menatap ke arah Bram yang berdiri di depannya dengan menumpukan tangan ke meja dan mencondongkan badan ke arahnya. Tangannya bergerak menyentuh layar gawainya, menampilkan foto dirinya dengan Bian yang sedang tersenyum ke arah kamera. "Masih jam 2, Pak."

"Ya emang kenapa kalau masih jam 2?"

Geina memutar bola matanya jengah. "Bapak mau ngajak saya bolos kerja?" tanyanya. Memang sih hari ini cukup santai dan sepertinya belum ada pekerjaan lagi karena pekerjaan Geina sudah diselesaikan Bram tadi. Ah ... Geina jadi tau kenapa Bram bersikeras mau membantunya.

"Iya. Ayo cepat."

"Tapi saya enggak mau dianggap makan gaji buta." Geina tersenyum tipis, menatap Bram yang seakan meremehkannya.

"Ini bukan makan gaji buta. Kamu kerja jadi asisten saya, jadi harus ikut saya kemana pun saya mau."

Geina menukikkan alisnya, perlahan bibirnya menyunggingkan senyum lebar. "Ya udah ayok. Tapi saya terhitung kerja loh ini," ucapnya memperingatkan Bram.

Bram sontak tertawa dan mengacak rambut Geina gemas. Gimana enggak makin cinta kalau Geina selalu bisa membuatnya ingin menerkam gadis itu.

Bram segera menarik lengan Geina untuk keluar. "Saya ada urusan di luar. Mungkin enggak balik kantor. Kalau ada sesuatu, kamu urus dulu," ucap Bram kepada Amira yang menatapnya dengan senyum yang terpaksa.

"Saya duluan, ya, Mbak," pamit Geina pada Amira. Sekretaris Bram itu langsung melengos tanpa berniat membalas ucapan Geina atau sekadar membalas senyumnya.

"Bapak ada hubungan apa, sih, sama mbak Amira?" tanya Geina saat mobil Bram sudah melaju dari kantornya.

"Perlu banget saya cerita?"

Geina mengangguk antusias. "Perlu banget, dong, Pak. Biar saya enggak mikir macam-macam. Bapak serius enggak, sih, sama saya?" Geina gemas sendiri. Jujur ia sedikit bimbang dengan perasaannya. Ia menyukai Bram, tapi pria di sampingnya ini membuatnya ragu. Apalagi kejadian di kantor beberapa hari lalu masih belum jelas kebenarannya seperti apa.

Bram menghembuskan nafasnya pelan. "Saya serius sama kamu. Kamu jangan mikir saya cuma manfaatin kamu karena tau kalau kamu anak om Sanjaya. Kamu bukan anak om Sanjaya pun, saya akan tetap cinta."

Geina sedikit terkejut bahwa ternyata Bram mengetahui apa yang sempat membuatnya bimbang akhir-akhir ini.

"Tapi saya minta maaf. Boleh saya minta waktu sebentar aja? Jujur saya belum bisa cerita ke siapapun. Saya percaya sama kamu, tapi saya butuh waktu, Ge. Yang harus kamu tau, saya benar-benar cinta sama kamu. Saya enggak ada hubungan apapun sama Amira. Saya enggak pernah mencintai ataupun dekat dengan Amira terlepas dia memang sahabat mantan istri saya. Saya enggak mau menambah pikiran kamu. Cukup percaya sama saya, tunggu waktu yang tepat, nanti akan saya ceritakan apapun yang kamu mau tau," lanjut Bram.

"Tapi ... saya udah terlanjur kepo, Pak. Enggak bisa kalau saya enggak mikirin ini. Apalagi hal ini menyangkut masa depan saya juga," Geina menjawab ragu.

Sedikit helaan nafas terdengar dari telinga Bram, membuat pria itu akhirnya mendesah lelah. Tangannya mengusap wajahnya dengan pelan. Ada keinginan untuknya bercerita pada Geina saat ini. Namun, egonya mengatakan bahwa tak sepatutnya ia melibatkan Geina ke dalam masalah yang entah kapan akan selesai. Tapi di sisi lain, ia juga merasa khawatir jika Geina akan memilih pria lain yang lebih bisa membuatnya yakin.

"Oke, nanti kamu boleh tanya sesuatu. Kita cari tempat makan aja kalau gitu."

Bram membawa Geina menuju restoran seafood yang tidak terlalu ramai. Ia sengaja memilih tempat duduk di pojok agar pembahasannya dengan Geina lebih nyaman.

"Jadi bener kalau mbak Amira itu sahabat dekat mantan istri Bapak?"

Bram mengangguk tanpa mengeluarkan suara.

"Em ... berarti Bapak juga dekat sama mbak Amira?"

Bram langsung menggeleng. "Saya enggak dekat sama Amira. Ketemu pun karena menemani almarhumah istri saya."

Geina mengangguk paham. "Berarti ... mbak Amira enggak suka sama saya karena dia enggak mau posisi mantan istri Bapak tergantikan sama saya?" tebaknya ragu.

"Atau karena mbak Amira emang beneran suka sama Bapak?" tebak Geina lagi, kali ini dengan suara yang lebih yakin.

Bram kembali mendesah. Senyum kecil mulai terbit ketika matanya menatap Geina yang sudah tampak menunggu jawabannya.

"Kamu yakin mau tau?" tanya Bram.

Geina mengangguk yakin.

"Nikah dulu sama saya," ujar Bram akhirnya.

"Ih Bapak. Saya, kan, pengen taunya sekarang. Kasih tau, dong."

"Kalau saya cerita sekarang, kamu malah enggak mau nikah sama saya."

Geina mendelik. "Ya itu artinya Bapak jebak saya. Pasti beneran ada apa-apa, kan?"

"Enggak ada sayangku. Udah cepat makan. Habis ini kita nonton."

Geina langsung tersipu malu. Panggilan sayang Bram mau tak mau membuat mulutnya terbungkam. Ia memilih diam dan menghabiskan makanannya untuk menyembunyikan pipinya yang merona malu.

Tiga puluh menit kemudian mereka sudah sampai di bioskop. Geina tidak tau Bram mengajaknya menonton film apa. Ia hanya diminta Bram membeli popcorn dan langsung diajak masuk ke dalam bioskop.

"Emang kampret si Bram," batin Geina kesal ketika layar bioskop menampilkan adegan yang cukup vulgar. Meskipun usia Geina sudah cukup matang untuk mengerti hal-hal seperti itu, tetapi tetap saja ia malu. Bisa-bisanya Bram malah begitu fokus menonton film itu sambil sesekali mengelus punggung tangannya.

"Ck, Bapak lepasin tangan saya," bisik Geina mencoba melepaskan tangannya dari genggaman Bram. Ia sedikit duduk menjauh dari Bram. Suara desis teguran untuk diam membuat Geina tersenyum malu. Ia diam dan berubah merinding ketika mendegar suara desahan dari tempat duduk di depannya. Mata Geina sedikit memincing, ia sedikit terkejut dengan apa yang ia lihat. Bisa-bisanya orang-orang dengan mudah berbuat mesum di sembarang tempat.

Keluar dari bioskop, Geina buru-buru menjauh saat Bram mencoba memegang lengannya. "Enggak, ya. Bapak jangan pegang-pegang saya hari ini, bahaya."

"Berarti besok boleh?" tanya Bram menggoda.

"Awas aja. Saya bilangin ke Pak Sanjaya baru tau rasa," ancam Geina. Ia menyeringai saat ancamannya terbukti berhasil. Raut wajah Bram berubah panik meskipun tidak terlalu kentara.

"Ck ... bercanda doang," gerutu Bram.

"Bercanda kok pegang-pegang," Geina ikut menggerutu. "Lagian Bapak tuh aneh ya. Lebih takut sama Ayah saya daripada sama Tuhan," sindirnya.

Bram langsung melotot. Kemudian menggaruh tengkuknya yang tidak gatal. Perkataan Geina memang ada benarnya. Kenapa ia lebih takut tidak mendapat restu dari Ayah Geina daripada mendapat azab dari Tuhan?

"Mampir ke rumah saya, ya?" tawar Bram. Hari masih sore, jadi ia berniat mengajak Geina mampir ke rumahnya, selain juga menuruti permintaan Bian untuk bertemu dengan Geina.

Geina menatap Bram curiga. "Bapak mau ngapain saya?" ujarnya dengan mata memincing tajam sambil tangannya menutupi dada.

Dengan suara mendesah lelah, Bram fokus menatap jalanan. "Kayaknya pikiran kamu jelek terus ya soal saya. Kalau saya mau apa-apain kamu, mending ke hotel aja biar enggak ada yang ganggu."

Geina langsung menggeplak kepala Bram hingga pria itu mengaduh kesakitan. Tangan Bram mengusap-usap kepalanya yang terasa berdenyut.

Geina melengos. "Syukurin," ucapnya yang menambah denyutan di kepala Bram semakin terasa.

***

Sen Kanan Belok ke Hatimu (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang