Patah Hati

2K 151 6
                                    

Geina mengajak Bram dan Bian untuk makan di salah satu restoran dekat kebun binatang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Geina mengajak Bram dan Bian untuk makan di salah satu restoran dekat kebun binatang. Untuk saja Bian langsung setuju dan melupakan pertanyaan tentang adiknya. Hal itu cukup membuat Geina bernafas lega.

"Bian mau makan ayam katsu, ya, Pa?" izin Bian setelah melihat menu yang ada. Bram mengangguk memperbolehkan membuat Bian bersorak senang. Sementara itu Geina mengangguk dan segera berjalan menuju kasir untuk memesan makanan untuk mereka.

Setelah membayar–tentunya uangnya akan diganti oleh Bram–Geina berjalan kembali menuju meja mereka di ujung dekat kaca. Namun, tiba-tiba ia berhenti. Matanya menatap nyalang dua orang yang baru saja masuk ke dalam restoran. Dengan perasaan tak percaya, Geina berjalan mendekat ke meja orang itu.

"Keenan," panggilnya. Laki-laki di depannya berbalik dan langsung terkejut. Geina tertawa sumbang. Ia merasa kasihan dengan dirinya sendiri. Orang yang beberapa hari ini ia khawatirkan dan selalu ia tunggu kabarnya, ternyata sedang berkencan dengan perempuan lain.

"Siapa?" tanya perempuan di sebelah Keenan, tampak bingung.

"Kamu siapa?" tanya Geina balik.

Perempuan berambut panjang dengan pakaian yang cukup sexy itu tersenyum lebar dan menyodorkan tangannya. "Aku Rasya, pacar Keenan," ujarnya antusias.

Geina menahan rasa sesak di dadanya. Ia mencoba untuk tetap tersenyum dan balik menjabat tangan perempuan bernama Rasya itu. "Aku teman kuliah Keenan. Tadi kupikir salah orang. Kita udah lumayan lama enggak ketemu. Ternyata bener Keenan." Geina menarik nafasnya dalam dan menghembuskannya pelan. "Kalau gitu aku pergi dulu, ya. Udah ditungguin sama suamiku," lanjutnya sambil menunjuk Bram yang ternyata sedang menatapnya dari jauh.

Geina kembali ke mejanya dengan perasaan campur aduk. Ia tidak percaya bahwa dirinya kini diselingkuhi. Atau justru dirinya lah yang menjadi selingkuhan? Geina tidak tau. Tapi sekarang, rasanya ia ingin menangis. Dadanya terasa sesak melihat bagaimana ekspresi bahagia Keenan ketika masuk ke restoran tadi. Dengan tangan yang merangkul pinggang perempuan itu membuat Geina bertambah muak. Apalagi Keenan sama sekali tidak mencoba untuk menjelaskan sesuatu padanya sekarang. Lagi pula buat apa juga? Bukankah dirinya hanya mainan bagi Keenan?

Geina menarik nafasnya dan mencoba untuk menampilkan senyumnya. Melihat Bian yang kini menatapnya dengan senyum lucunya, membuat Geina tak kuasa untuk menangis. Ia tidak mau Bian dan Bram mengetahui perasaan sedihnya saat ini. Ia tidak mau merusak suasana bahagia Bian.

"Itu siapa, Mama?" tanya Bian ketika Geina sampai di Mejanya. Geina meletakkan nomor meja yang ia bawa, lalu duduk di samping Bian. "Teman, Mama," ujar Geina dengan senyum paksanya.

Kurang lebih 40 menit mereka menghabiskan makan siangnya. Bram segera mengajak mereka pulang karena Bian terlihat sudah mengantuk. Dan benar saja, di perjalanan pulang, Bian tertidur pulas di pangkuan Geina.

"Pacarmu?" Bram tiba-tiba mengeluarkan suaranya setelah sekian lama mereka berada dalam suasana hening.

"Ha?" Geina menatap Bram meminta penjelasan. Ia sedikit sangsi bahwa tadi ia mendengar Bram berbicara, karena pria itu menatap lurus ke depan, fokus menyetir.

"Tadi, pacarmu?" tanya Bram sekali lagi.

Geina menghembuskan nafasnya. "Mantan," ujarnya kesal.

Bram kembali diam, membiarkan Geina yang diliriknya sedang menggerutu pelan. Ia tersenyum tipis.

"Kamu enggak apa-apa? Em ... maksud saya kamu mau saya antar pulang dulu?"

Lama tidak mendapat jawaban, Bram menoleh ke arah Geina ketika berhenti saat lampu merah. Dia sedikit terkejut saat melihat Geina yang ternyata menangis tanpa suara. Bram bingung harus melakukan apa. Hingga akhirnya yang bisa ia lakukan hanya menepuk pundak Geina pelan.

"Saya tuh kesel banget. Udah pengen nangis dari tadi. Tapi enggak mau ngerusak momen Bapak sama Bian." Geina mulai menangis sesenggukan, tetapi suaranya berusaha ia tahan agar tidak membangunkan Bian. Tangannya mengelus kepala Bian. "Kok saya menyedihkan banget, ya, Pak. Orang yang saya suka dari zaman kuliah ternyata malah selingkuh. Saya tiap hari nungguin kabar dia, katanya sibuk kerja. Ternyata sibuk sama perempuan lain."

Geina sesenggukan. Ia mengusap air mata yang membasahi pipinya dengan kasar. "Saya kurang apa, sih, Pak? Emang saya jelek? Saya matre? Saya terlalu menuntut? Perasaan saya iya iya aja pas dia bilang sibuk kerja." Geina benar-benar menumpahkan segala keluhan yang membuat dadanya sesak. Ia tidak peduli bahwa Bram adalah bosnya. Ia hanya ingin meluapkan kekecewaannya saja.

"Bukan kamu yang kurang, tapi dia yang enggak bersyukur punya kamu," Bram mulai berani untuk menghibur Geina. "Berat enggak? Biar saya pindahin Bian ke belakang?"

Geina menggeleng. "Biar di sini aja," ujarnya sambil mengelus rambut Bian dengan sayang.

"Nangis aja kalau masih mau nangis. Jangan ditahan."

Geina kembali menggeleng. "Udah lumayan lega, kok, Pak. Maaf, ya, Pak Bram jadi dengerin keluh kesah asmara saya yang enggak pernah berhasil."

Bram tertawa pelan. Lebih tepatnya ikut menertawakan kisah asmaranya sendiri. "Itu tadi saudaranya Keegan?"

Geina mengangguk. "Kok Bapak tau? Bapak kenal?"

"Saya pernah ketemu, tapi enggak kenalan, sih. Cuma papasan aja. Mukanya mirip sekali dengan Keenan."

Geina mengangguk menyetujui. Mereka mirip karena memang kembar. Tapi sayang kelakuannya berbeda 180 derajat. Semoga saja Keegan bukan buaya seperti Keenan.

Menyadari bahwa Bram pernah bertemu dengan Keegan, membuat Geina sedikit panik. "Maaf, Pak. Saya tadi nunjukin ke mereka kalau Bapak itu suami saya." Geina meringis menatap Bram. "Nanti kalau suatu saat Bapak ketemu mereka dan mereka tanya tentang saya. Jawab aja kita udah cerai," lanjutnya ragu.

Kini Bram yang gantian meringis. Dia baru menikah sekali tapi harus menjadi duda 2 kali. Ide Geina sungguh begitu jelek. "Enggak mau lah. Dikira saya tukang kawin," protes Bram tak setuju.

"Daripada nanti saya dibilang bohong."

"Ya kan kamu emang bohong," kata Bram menyadarkan Geina.

Geina diam membenarkan. Perlahan bibirnya tertarik ke bawah. "Ya udah, Bapak jangan sampai ketemu sama dia kalau gitu," ujarnya mencoba memberikan solusi yang lain.

"Kenapa solusimu jelek sekali," timpal Bram sambil terkekeh. Ia menyentil dahi Geina pelan. Sepertinya hal itu akan menjadi hobinya mulai sekarang.

"Daripada harus bohong, kenapa kamu enggak mencoba untuk membuatnya jadi kenyataan?" lanjutnya.

Geina terdiam. Ia ingin bertanya apa maksud Bram, namun pria itu terlebih dahulu keluar dan menggendong Bian untuk masuk ke dalam rumah. Geina tersenyum. Membuatnya jadi kenyataan, eh?

***

Ekspresi jomblo habis baca part ini

Ekspresi jomblo habis baca part ini

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Sen Kanan Belok ke Hatimu (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang