Ketahuan

1.9K 140 6
                                    


Geina mendesah lemas saat sudah sampai di depan gerbang rumah diantar oleh Aska

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Geina mendesah lemas saat sudah sampai di depan gerbang rumah diantar oleh Aska. Ia sedikit kecewa saat Bram tidak menghampirinya setelah bertemu dengan mantan mertuanya. Ia pikir Bram akan marah atau setidaknya cemburu, lalu menghampirinya, dan berusaha untuk menghajar Aska karena telah berani makan berdua dengannya. Namun sepertinya Geina terlalu berharap. Bram justru sama sekali tidak meliriknya lagi setelah mantan mertuanya pulang.

"Jangan cemberut gitu, dong. Ntar om Sanjaya ngira aku yang bikin anak semata wayangnya lesu kayak orang kurang darah gini." Aska turun dari mobilnya, disusul oleh Geina yang juga ikut turun setelah Aska membukakan pintu mobil untuknya.

"Kayaknya seru kalau aku ikut masuk. Ayo," ujarnya sambil menggandeng tangan Geina yang tampak kebingungan.

Geina sedikit terkejut saat melihat ternyata mobil Bram telah terparkir di depan rumahnya. Ada sedikit rasa senang ketika Bram berani datang ke rumahnya. Tapi, lagi-lagi Geina dihantam kenyataan bahwa mungkin saja Bram kemari karena urusan bisnis.

"Senyum, dong." Aska menarik kedua ujung bibir Geina. Mau tak mau, Geina akhirnya tertawa meskipun Aska sempat mendapat cubitan di pinggangnya. Hingga tak sadar, ternyata mereka sudah masuk ke dalam rumah dan menjadi pusat perhatian dari orangtuanya dan Bram khususnya.

"Mama...."

Geina langsung berbinar saat Bian berlari menghampirinya, meskipun dalam hatinya ia sedikit khawatir karena mendengar Bian yang memanggilnya dengan sebutan mama di depan orangtuanya.

"Kangen banget," gumam Geina gemas sambil mencubit kedua pipi gembul Bian. Memang kalau dilihat-lihat, Bian nampak lebih berisi dari terakhir kali Geina bertemu.

"Hallo, Om, Tante." Aska dengan pikiran jahilnya mulai beraksi. Ia duduk di samping Bram setelah menyalami Sanjaya dan istrinya, tanpa mempedulikan Bram yang terlihat tak suka dengannya. "Maaf, nih, saya ajak Gege makan di luar tadi. Hitung-hitung pendekatan," lanjutnya sambil terkekeh.

Terdengar geraman pelan dari sebelah Aska. Pria itu yakin jika sekarang Bram sedang menahan kesal terhadapnya.

"Loh ... kalian udah makan? Padahal tante masak banyak, loh, Ka. Kebetulan tante masak gurame asam manis, kesukaan kamu, kan, itu?"

Aska tersenyum menyeringai. Tidak sia-sia mamanya menceritakan tentang dirinya kepada Dini. Senang sekali rasanya bisa menarik ulur emosi Bram. Mungkin setelah pulang dari sini, ia akan dihajar oleh pria yang sudah menyetatkan rahangnya itu.

"Wah, ini nih yang saya tunggu-tunggu. Lambung saya masih muat, kok, buat nampung masakan Tante," timpal Aska lagi-lagi dengan kekehannya.

"Ya udah ayo makan. Ayo, Bram juga makan sekalian."

"Ck ... nggak usah malu-malu. Gentle, dong, Bro," bisik Aska kepada Bram yang nampak ragu. Tanpa menunggu respon Bram, Aska sudah berjalan dulu mengikuti Sanjaya dan Dini ke ruang makan.

Bram hanya bisa mendesah. Ia mengikuti mereka ke ruang makan. Pikirannya sedang kalut. Niat hati ingin menghapus kekesalannya hari ini dengan memeluk Geina, namun ia justru semakin kesal melihat kedekatan Aska kepada Geina dan orangtua perempuan yang dicintainya.

"Lagi ngomongin aku pasti, nih." Geina datang menyusul ke dapur bersama Bian yang menggandeng tangannya.

Tak ada sahutan, namun mereka yang berada di sana tampak memperhatikan Geina. Terutama Dini yang menatap Geina dengan rasa curiga.

"Kayaknya udah lengket banget, ya, sama kamu?" bisiknya bertanya setelah Geina duduk di sampingnya.

Geina tersenyum dan mengangguk mengiyakan. "Lucu, kan, Ma? Mama mau enggak dapat cucu kayak Bian?" tanyanya iseng.

Dini langsung mendelik. "Kamu kayaknya udah ngebet pengen kawin sampai nawarin mama cucu. Kamu enggak macem-macem, kan?" tanya Dini penuh selidik.

"Ih ... Gege enggak aneh-aneh, kok."

"Awas kalau macam-macam," ancam Dini pada putri semata wayangnya. Ia kemudian mempersilakan mereka untuk segera makan. Dini merasa senang karena mendapat pujian dari tamu-tamunya mengenai masakannya, terutama oleh Aska yang menurut Dini memang pandai mengambil hati orang. Sementara Bram lebih tidak banyak omong.

"Mama suka, sih, sama Bian. Bram juga anaknya sopan, ganteng juga. Cuma statusnya duda bikin mama ragu. Gimana sama mantan istrinya?"

"Pak Bram tuh cerai mati, Ma. Istrinya meninggal waktu Bian masih bayi." Geina menatap mamanya heran. Padahal ia sama sekali tidak mengatakan hubungannya dengan Bram. Atau jangan-jangan mamanya sudah tau? "Mama kenapa nanya-nanya gitu?" tanya Geina akhirnya.

"Ya mama butuh pertimbangan buat nerima dia jadi mantu mama."

Geina mengerutkan dahinya. "Maksudnya?"

"Kan, tadi Bram ke sini mau izin serius sama kamu."

Perkataan mamanya langsung membuat Geina terbatuk-batuk. Ia langsung meneguk air di depannya. Semua orang tampak menatapnya khawatir. Sementara Geina meringis tak enak dan meminta mereka untuk melanjutkan makannya.

Bram benar-benar bergerak cepat. Ia pikir Bram tidak lagi peduli dengannya dan memilih mundur. Tapi ternyata ia malah bergerak semakin masuk ke dalam hidupnya. Namun, di sisi lain, keraguan Geina masih ada. Ia tidak tau niat Bram yang sebenarnya.

"Bian ngantuk, Pa," ujar Bian.

Jam sudah menunjukkan pukul setengah sepuluh malam. Setelah makan tadi, mereka kembali ke ruang tamu dan berbincang-bincang santai. Bram sendiri tidak berusaha untuk mengatakan sesuatu pada Geina karena sibuk berbincang dengan Aska dan Sanjaya.

"Ya udah. Ayo kita pulang. Pamitan dulu," perintah Bram.

Bian menurut. "Bian pulang dulu ya, Kek, Nek." Tangannya bergerak mencium punggung tangan Sanjaya dan Dini.

"Besok main lagi, ya, ke sini." Dini dengan gemas mencium pipi Bian, membuat bocah itu tertawa kegelian.

"Kalau gitu saya juga sekalian mau izin pamit, Om, Tante. Terima kasih makan malamnya." Aska mengikuti Bram yang sudah berjalan ke luar diantar Geina. Saat sudah di luar, Bram mengelus kepada Geina lembut. "Kasihan dikit, dong, sama yang jomblo," ujar Aska memisahkan pasangan yang sedang kasmaran itu.

Bram berdecak kesal. "Ganggu aja." Ia kemudian menggendong Bian ke mobil karena anaknya sudah terlalu mengantuk. Sampai di mobil, Bian ternyata sudah tertidur pulas.

Aska segera berlari ke mobilnya yang berada di depan gerbang. Ia berniat menunggu Bram mengklakson mobilnya agar menyingkir. Namun beberapa waktu, mobil Bram tak menunjukkan tanda-tanda dihidupkan. Dengan sedikit curiga, Aska berjalan pelan menghampiri Bram.

Aska menyeringai setelah melihat apa yang terjadi. "Wah ... wah. Gue bilangin om Sanjaya kalian, ya. Berani-beraninya ciuman di depan jomblo," ujarnya sedikit keras.

***

Sen Kanan Belok ke Hatimu (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang