Apa?

1.9K 140 2
                                    

"Jadi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Jadi ... Geina ini anaknya Pak Sanjaya?" tanya Bram ragu. Matanya melirik Geina yang sedang tersenyum simpul. Melihat senyumnya itu, Bram semakin yakin jika memang Geina sengaja tidak memberitahu kepadanya bahwa dirinya adalah anak dari rekan bisnisnya. Pantas saja gadis itu tadi sempat terkejut saat mendengar bahwa ia akan meeting dengan Sanjaya.

"Iya. Ini anak semata wayang saya," jawab Sanjaya.

"Kenapa ... em maksud saya pak Sanjaya sudah tau kalau Geina bekerja jadi asisten saya?"

Sanjaya mengangguk mantap. Dia tersenyum simpul, seakan memahami hubungan antara putrinya dan rekan kerjanya itu. Pantas saja semalam Geina sempat menanyakan bagaimana jika calon suaminya adalah seorang duda. Rupanya duda ini yang dimaksud.

"Saya tau. Geina selalu menceritakan semuanya kepada saya."

Bram sontak terbatuk. Kemudian menatap Geina seakan meminta penjelasan.

"Tenang, Pak. Saya cerita bagus-bagusnya aja, kok," ujar Geina menenangkan.

Bram mendesah lega. Tatapannya beralih menatap Sanjaya dengan senyum lebarnya. Mendengar Geina berbicara seperti itu, membuat hatinya cukup tenang. Bahkan ada rasa jumawa ketika membayangkan penilaian Sanjaya terhadap dirinya yang dia yakin adalah penilaian yang baik.

"Geina ini anaknya cukup rajin dan cekatan. Makanya hari ini saja ajak ke sini untuk bertemu Bapak. Saya enggak nyangka kalau asisten saya ini putri Bapak," ujar Bram membuat Geina memutar bola matanya jengah. Pintar sekali Bram cari muka, batin Geina tertawa.

"Oh ya? Padahal kalau di rumah malasnya minta ampun."

"Pa." Geina merengut tak setuju. "Padahal aku anak Papa yang paling rajin."

"Ya benar sih. Anak papa, kan, cuma kamu."

Geina terkekeh.

Melihat interaksi keduanya, Bram menjadi sedikit canggung. Tiba-tiba rasa tak percaya diri dengan statusnya membuat Bram mulai melunturkan senyumannya. Geina yang merupakan anak tunggal perempuan pastilah membuat orangtuanya sangat menjaga dan berharap yang terbaik untuk anaknya.

"Oh maaf-maaf. Kayaknya Gege minggir aja, ya. Nanti malah ganggu," ujar Geina berniat untuk mencari meja lain. Lagipula ia tau jika Bram tampak tidak nyaman berbincang dengan papanya setelah tau bahwa ia adalah anak dari rekan bisnis yang duduk di depannya sekarang. Geina tidak mau mengganggu pembahasan bisnis mereka.

"Enggak apa-apa." Bram mencegah Geina yang hendak berdiri dari kursinya.

"Sepertinya memang lebih baik kamu minggir dulu, Ge. Papa mau bahas sesuatu sama Bram," ujar Sanjaya menginterupsi.

Bram menegakkan tubuhnya. Meskipun dirinya paham jika tujuannya kemari adalah untuk meeting dengan Sanjaya, tapi setelah mengetahui bahwa Geina adalah putri dari Sanjaya, membuat Bram sedikit gugup. Ia rasa, Sanjaya bukan hanya membahas masalah pekerjaan, tapi juga sesuatu yang lain.

***

"Bapak kenapa dari tadi senyum-senyum mulu?" tanya Geina ketika mereka dalam perjalanan kembali ke kantor. Bram tersenyum simpul, menatap Geina sebentar, dan kembali mengarahkan pandangannya ke depan tanpa menjawab pertanyaan Geina.

"Dasar aneh."

Tak mau ambil pusing, Geina memilih untuk membuka ponselnya. Rupanya sudah ada beberapa pesan dari orang yang beberapa hari ini Geina hindari karena takut ditagih traktiran.

Geina tersenyum. Jarinya mulai mengetikkan sesuatu di sana. Membalas beberapa pesan dari Aska.

"Kamu lagi chat sama siapa?" Bram tiba-tiba bertanya. Geina mencebikkan bibir dan kembali sibuk dengan gawainya tanpa berniat untuk menjawab pertanyaan Bram.

"Ge," panggil Bram. Geina sengaja mengabaikan supaya Bram tau rasanya dikacangin.

Melihat Geina yang tidak mempedulikan panggilannya. Bram langsung minggir dan menghentikan laju mobilnya.

"Ge. Saya dari tadi panggil-panggil loh."

Geina menoleh. "Emang Bapak butuh banget jawaban saya?"

"Ya iyalah. Saya nanya ya harus dijawab. Wajib."

Geina tertawa meremehkan. "Oh ... yang wajib jawab cuma saya aja? Kalau saya yang nanya, suka-suka Bapak mau jawab atau enggak, gitu?" sindir Geina.

Bram mendesah pelan. Rupanya kekasihnya sedang marah karena Bram tidak merespon ucapan Geina tadi. Dengan rasa sesal, Bram menggenggam tangan Geina. "Maaf. Maafin saya. Saya enggak berniat untuk nggak jawab pertanyaan kamu tadi. Tapi emang karena saya enggak punya jawaban."

Geina memutar bola matanya. "Udah ah. Ayok jalan lagi. Ngapain pake berhenti segala."

"Jawab dulu pertanyaan saya. Kamu lagi chat sama siapa?"

Geina kembali memutar bola matanya. "Sama mas Aska."

Bram menipiskan bibirnya. Bisa-bisanya Geina chat dengan Aska di depannya. Apalagi sambil senyum-senyum.

"Apa? Enggak usah mikir aneh-aneh. Mas Aska cuma nagih traktiran. Dan jangan lupa Bapak janji sama saya buat bayarin."

Bram sontak tersenyum. "Saya enggak lupa. Mau kapan memangnya?"

"Em ... nanti?"

Bram mengangguk-anggukkan kepalanya. "Oke, nanti."

Bram kembali melajukan mobilnya. Lima belas menit kemudian, mereka sudah sampai di kantor. Bram segera mengajak Geina untuk ke ruangannya. Namun saat Geina mencoba menyusul langkah Bram yang panjang, ia dipanggil oleh resepsionis yang tadi siang sempat menertawakannya.

Geina memberengut kesal. Apalagi ketika melihat Bram yang tidak menunggunya untuk naik ke lantai atas bersama. "Apa?" tanya Geina dengan nada sedikit kesal.

Resepsionis itu tersenyum tipis. "Ada titipan untuk kamu." Ia menyodorkan sebuah coklat kepada Geina.

"Dari siapa?" tanya Geina. Seingatnya ia sedang tidak berulang tahun. Ia juga tidak sedang menjalin hubungan dengan siapapun, kecuali ... Bram. Tapi menurutnya, tidak mungkin Bram repot-repot menitipkan coklat ke resepsionis. Jika Bram yang membelikan, pasti pria itu memberikan langsung ke Geina.

Atau jangan-jangan, ada seseorang yang diam-diam menyukai Geina di kantor ini?

"Dari kekasihmu."

Geina mengerutkan keningnya. "Kekasihku?" tanyanya bingung. Namun tak ayal coklat berbentuk love itu membuatnya tersenyum senang. Geina mengucap terima kasih. Rasa kesal ke resepsionis itu hilang begitu saja. Sepertinya Geina paham mengapa tadi siang Bram berlama-lama berbincang dengan resepsionis itu.

Geina segera berjalan menuju ruangan Bram dengan senyum lebarnya. Langkah kakinya terhenti ketika menyadari ada seseorang di dalam. Dengan jiwa keponya, Geina sedikit menguping suara yang ada di dalam ruangan yang pintunya tidak tertutup rapat itu.

"...mencintaimu, Amira." Suara Bram cukup menyentak Geina. Apalagi kalimat yang diucapkannya. Bagaimana bisa Bram jadi pria sejahat ini. Bram bilang dia mencintai Geina. Dan sekarang dia juga bilang bahwa dia mencintai Amira. Serendah itukan cinta di mata Bram?

Geina tak lagi mau menguping. Seharusnya ia tak perlu mendengar pembicaraan menyakitkan itu. Tapi, ia juga bersyukur karena tau bahwa Bram ternyata sedang mempermainkannya.

Dengan rasa sakit hatinya, Geina membuang coklat yang ia pikir dari Bram itu ke tempat sampah. 

***

Sen Kanan Belok ke Hatimu (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang