Nasi Padang

2.7K 193 1
                                    

Bekerja dengan Bram ternyata tidak semenyeramkan yang Geina kira

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Bekerja dengan Bram ternyata tidak semenyeramkan yang Geina kira. Ia pikir Bram adalah tipe atasan yang otoriter dan suka marah-marah. Tapi ternyata Bram adalah sosok yang santai dan bersahabat dengan para karyawannya. Meskipun ya ... kadang-kadang membuatnya kesal setengah mati dengan sikap seenaknya sendiri.

"Bapak dulu pernah jadi gelandangan, ya?" Geina menyipitkan matanya menatap Bram yang tampak sangat lahap makan nasi padang yang dipesannya melalui layanan pesan antar. "Pak itu mau dihabisin semua?" lanjutnya bertanya karena pertanyaan sebelumnya sama sekali tidak mendapat respon dari Bram. Namun, sepertinya Bram memang tidak minat untuk menjawab semua pertanyaannya.

Geina meneguk ludahnya, mendengarkan suara perutnya yang kelaparan. Bram sama sekali tidak mempedulikannya. Ia masih dengan lahap menyantap porsi keduanya yang baru saja ia buka. Geina pikir satu porsi akan diberikan padanya, tapi ternyata diembat juga.

"Ngapain kamu lihatin saya? mau?" tanya Bram setelah berdecak karena daging yang ia gigit sedikit alot.

"Bapak mau beliin?"

"Beli sendiri lah."

Geina berdecak kesal. Kenapa nawarin kalau enggak mau ngasih? Menyadari jika jam makan siang sudah mulai, Genia bergegas keluar ruangan.

"Mau kemana kamu?"

"Mau nyari makan lah, Pak. Udah jam makan siang ini. Bapak aja udah makan dari tadi."

"Tiga puluh menit lagi kamu jemput Bian ke sekolah. Perjalanan dari kantor ke sekolah lima belas menit kalau enggak macet. Saya enggak mau anak saya menunggu jemputan terlalu lama. Jadi enggak cukup waktu kalau kamu nyari makan di luar."

Geina melongo. "Ya terus gimana? saya, kan, juga lapar, Pak. Kalau saya kena asam lambung, bapak harus ganti rugi."

Bram berdecak. Kemudian menyodorkan nasi padang yang baru saja ia buka. "Makan ini."

Geina menatap Bram dengan raut heran. Kok ada laki-laki kayak Bram di dunia ini. "Bapak ngasih saya makanan bekas?" tanya Geina sambil menggeleng-gelengkan kepalanya tak percaya.

"Belum saya sentuh. Cuma saya ambil dagingnya. Lauknya masih banyak, kamu juga pasti enggak habis. Lagian dagingnya alot, jadi harusnya kamu berterima kasih karena enggak makan daging alot ini," ujar Bram membela dirinya. "Buruan makan, 15 menit lagi harus udah selesai." Bram pergi meninggalkan Geina yang masih shock.

Geina mendesah. "Medit banget punya bos." Tanpa menunggu lama, ia mulai menyantap nasi padang itu meski diiringi dengan gerutuannya sepanjang ia menyantap makan siangnya itu. Kalau mamanya tau jika putri semata wayangnya ini makan makanan bekas, bisa dipotong itu burungnya Bram.

"Enak, kan? Gitu aja, kok, protes." Bram kembali masuk dengan membawa satu cangkir kopi dan segelas air putih. Pria penggemar kopi itu meletakkan gelas air itu di depan Geina.

"Makasih, Pak," ujar Geina. Meskipun sedang kesal, ia masih tau cara berterima kasih.

Geina kembali menyantap makanannya. Tak lagi mempedulikan makanan ini bekas Bram, tapi sungguh nasi padang adalah makanan terenak setelah masakan mamanya. Merasa ada yang aneh, Geina melirik ke arah Bram yang terlihat tersenyum menatapnya.

"Bapak ngapain lihatin saya?" tanya Geina curiga. Tangannya bergerak mengambil ponselnya, dan membuka kamera. Mengecek wajahnya yang menurutnya masih cantik seperti biasanya.

"Kamu tuh lucu, ya," ujar Bram membuat Geina langsung terbatuk. Ia segera mengambil dan meneguk air yang dibawakan Bram tadi. Setelah reda, matanya menyipit memandang Bram yang masih tersenyum. Tiba-tiba jantungnya berdetak lebih kencang.

"Bapak suka sama saya?" tanyanya ragu.

Bram sontak langsung tertawa keras, hingga matanya yang kecil menutup rapat. "Saya? Suka sama kamu?" Bram kembali tertawa keras, membuat Geina menyesalkan pertanyaannya tadi.

"Ya terus kenapa Bapak lihatin saya terus dari tadi? Pake senyum-senyum segala lagi. Kan saya jadi merinding," kata Geina mencoba mengusir rasa malunya karena terlalu percaya diri.

"Saya tuh teringat seseorang pas lihat kamu makan."

Geina tersenyum arogan. "Pasti dari mantan terindahnya, kan, Pak?" tebaknya.

Bram kembali tertawa. "Kamu mau tau?"

Geina mengangguk karena penasaran. Sementara Bram tersenyum misterius. Ia kemudian berdehem dan menegakkan tubuhnya. "Saya ingat gelandangan yang dulu sering minta makan ke rumah saya. Cara makannya persis kayak kamu, cuma lebih elegan dikit."

Geina diam mematung, mencoba mencerna kata-kata Bram. Ia bersungut-sungut ketika menyadari maksud ucapan Bram. "Arggghh...." geramnya kesal.

***

Jalanan lumayan lenggang siang ini, tapi Geina tetap telat menjemput Bian. Bocah itu sedang bermain bola ketika ia datang menjemputnya, didampingi oleh guru TKnya. Bian langsung berlari menghampiri Geina ketika melihat gadis itu melambaikan tangan.

"Mama kenapa lama banget jemputnya?" ujar Bian sedikit kesal.

Geina berjongkok dan mengelus puncak kepala Bian sayang. "Maaf, ya. Mama tadi ada sedikit kendala di kantor." Geina berdiri dan berpamitan pada guru Bian sekaligus mengucapkan terima kasih karena telah menemani Bian.

Awal Geina menjemput Bian ke sekolah, guru Bian sempat curiga karena biasanya yang mengantar jemput Bian sekolah adalah Kyla atau Bram. Mereka sempat mengira jika Kyla adalah istri Bram. Tapi sekarang, mereka justru mengira jika Geina lah yang merupakan istri Bram.

"Masih marah sama Mama?" tanya Geina ketika Bian sama sekali tak mengatakan sepatah kata pun. Padahal biasanya bocah itu sungguh cerewet dengan segala keingintahuannya.

Bian mengangguk lucu dengan bibirnya yang mengerucut. Melihat tingkah lucu Bian, Geina tertawa terbahak-bahak. Ternyata anak kecil sangat menggemaskan. Dulu ia sempat berpikir jika ia takut dengan anak kecil. Tapi melihat Bian sekarang, ia malah ingin memiliki banyak anak.

"Mama jangan ketawa. Bian lagi marah."

"Utututu ... kan, Mama udah minta maaf. Terus Mama harus gimana, dong, supaya Bian maafin Mama?" tanya Geina lagi. Ia benar-benar tak habis pikir jika sekarang ia sedang membujuk bocah yang sedang merajuk.

"Bian mau ice cream, Mama."

Geina kembali tertawa. "Oh ... jadi ceritanya kamu lagi memeras Mama?"

Bian tampak kebingungan. Bocah laki-laki itu menatap tangannya. "Bian enggak memeras Mama, kok," katanya lugu.

Geina meringis, lupa jika Bian masih anak 4 tahun yang pemaknaan kosakatanya masih terbatas. "Ya udah ... ayo kita beli ice cream. Tapi jangan bilang papa, ya."

Bian mengangguk semangat. Dia menyambut tangan Geina yang mengajaknya tos. "Siap, Mama."

***

Sen Kanan Belok ke Hatimu (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang