Overthinking

2K 146 4
                                    

Sejak hari di mana Bram mengatakan hal yang membuat Geina kebingungan, pria itu seakan mulai menghindarinya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sejak hari di mana Bram mengatakan hal yang membuat Geina kebingungan, pria itu seakan mulai menghindarinya. Sempat Geina berpikir jika perkataan Bram waktu itu menunjukkan bahwa Bram mulai menyukainya. Tapi setelah ia pikir-pikir lagi, sepertinya itu tidak akan pernah terjadi.

"Kenapa enggak coba buat jadi kenyataan," gumam Geina. Ia masih berpikir apa maksud kalimat Bram yang ini. Ia sungguh penasaran dan ingin bertanya langsung pada Bram. Tapi, pria itu lagi-lagi malah menghindarinya. Bahkan Bram malah sering dekat dengan Amira akhir-akhir ini.

"Ada yang bisa saya bantu, Pak?" tanya Geina memberanikan diri untuk masuk ke ruangan Bram. Pria itu menoleh sekilas ke arahnya, lalu kembali fokus ke layar laptopnya.

"Tidak. Kamu bisa pulang sekarang." Geina menaikkan alisnya bingung. Sepertinya ada yang aneh dengan Bram. Sudah 2 hari ini Geina seakan menjadi pengangguran di kantor. Padahal biasanya hampir setiap jam Bram selalu memanggilnya untuk melakukan sesuatu.

"Pulang? Enggak ah. Nanti Bapak potong gaji saya," tuduh Geina. Ia berjalan mendekat ke meja Bram.

"Tidak. Gaji kamu enggak akan saya potong," ujar Bram tanpa menoleh ke arah Geina. Bram lantas menutup laptopnya dan lanjut berdiri menatap Geina sekilas. "Habis meeting saya mungkin enggak balik ke kantor. Jadi kamu mending pulang aja."

"Tapi saya bisa bantu bawain berkas-berkas Bapak, atau ... pesenin makanan? Nyari tempat?"

Bram menatap Geina sebentar. "Saya sama Amira."

Geina mengangguk pelan dan mencoba untuk tersenyum. Ia lalu langsung pamit undur diri. Kenapa telinganya seakan tak suka mendengar Bram menyebut nama Amira. Hatinya terasa tak nyaman membayangkan Bram yang akan pergi dengan Amira. Padahal biasanya dirinya lah yang mendampingi Bram. Oh Tuhan, kenapa Geina jadi berpikir macam-macam. Ingat Geina, kamu harus profesional, batinnya.

***

Geina memustuskan untuk langsung pulang. Tubuhnya terasa tak bertenaga lagi untuk sekadar antre jajan pinggir jalan.

"Gege pulang," teriaknya dari depan rumah. Mamanya yang sedang di dapur tampak terkejut. "Tumben sudah pulang jam segini?" tanyanya.

"Udah enggak ada kerjaan di kantor, jadi Gege disuruh pulang." Gege menatap countertops yang sudah penuh dengan bahan masakan. "Mama mau masak banyak? Ada acara, kah?" tanyanya.

Dini–mama Geina–mengangguk antusias. "Kita bakal makan malam bareng tamu spesial." Dini mengambil pisau dan menyodorkannya ke arah Geina. "Sini bantuin mama potong sayur."

Geina mengangguk dan mulai menjalankan perintah mamanya. Dia mengambil beberapa jenis sayur dan mulai memotong-motongnya.

"Emang siapa, Ma?"

"Tante Gendhis. Kamu masih ingat enggak?" Dini tampak berbinar ketika mengucapkan nama itu.

Geina berpikir sejenak. Seakan teringat dengan salah satu sosok sahabat mamanya, ia mengangguk-anggukan kepalanya. "Sahabat Mama yang orang pontianak itu?" tanya Geina memastikan.

Sen Kanan Belok ke Hatimu (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang