Kepergok

1.6K 103 2
                                    

"Gimana?" Bram berbalik menatap Geina yang kini sudah berganti dengan gaun yang perempuan itu pilih sebagai gaun pernikahan mereka

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Gimana?" Bram berbalik menatap Geina yang kini sudah berganti dengan gaun yang perempuan itu pilih sebagai gaun pernikahan mereka. Bram menatap takjub.

Sebetulnya Bram tidak terlalu mengerti fashion. Menurutnya, apapun yang dikenakan Geina pastilah akan cantik. Bukan pakaiannya yang membuat seseorang terlihat cantik, tetapi dari orang yang memakainya. Tetapi, setelah melihat Geina sekarang, Bram berpikir jika ternyata fashion juga mempengaruhi daya tarik seseorang. Berulang kali Bram meneguk ludahnya ketika menatap belahan dada Geina yang terlihat.

"Matanya, ya, Pak," tegur Geina. Matanya mendelik menatap Bram yang mencari-cari kesempatan.

Bram meringis pelan sambil menggaruk tengkuknya. Namun, matanya sesekali melirik bagian terlarang itu. "Ganti sana, jangan yang ini."

"Kenapa? Bagus, kok. Bapak aja lihatinnya sampe nggak kedip."

"Terlalu terbuka. Cari yang lain sana," putus Bram.

Geina mendesah. Ia ingin beranjak, tetapi ide jahilnya tiba-tiba muncul. "Padahal ini enak lho, Pak, kalau mau buka. Tinggal dipelorotin aja," godanya.

Sontak Bram langsung metotot kaget. Buru-buru Geina segera masuk ke dalam ruang ganti.

Geina kembali dengan gaun yang lebih tertutup, tetapi masih menampilkan kesan sexy. Bram sempat ingin melarang, tetapi Geina mengancam tidak jadi menikah jika Bram menyuruhnya berganti pilihan gaun lagi. Akhirnya Bram mengizinkan dengan syarat sedikit permak di bagian-bagian tertentu.

Bram sampai heran. Mengapa perempuan senang sekali berpakaian sexy di depan banyak orang. Sebenarnya Bram paham jika itu salah satu kesenangan dan mungkin apresiasi kepada diri perempuan itu sendiri, tetapi sebagai seseorang lelaki, Bram paham bagaimana pikiran kaumnya yang terkadang di luar nalar.

Selesai dari butik, pasangan calon pengantin itu mampir sebentar ke sebuah outlet ice cream. Tentu saja Geina yang minta. Bram hanya bisa menuruti meskipun pada akhirnya ia juga ikut memesan satu cup besar ice cream vanila.

"Gege!"

Suara yang tak asing lagi bagi Geina membuat Geina menghentikan gerakan tangannya yang menyuapkan ice cream ke mulutnya. Bram yang juga merasa tak asing ikut menoleh ke sumber suara. Terlihat laki-laki yang cukup dihindari oleh kedua orang itu berjalan mendekat.

"Boleh aku bicara sebentar?" tanyanya dengan nafas yang memburu. Tentu saja, karena ia berlari cukup jauh tadi.

"Enggak," jawab Geina tegas. Geina ingin berdiri, tetapi laki-laki di depannya itu langsung menahan dan memohon padanya agar mau berbicara sebentar saja.

Melihat Bram yang akhirnya mengangguk mengizinkan, Geina akhirnya mempersilakan Keenan untuk duduk di hadapannya. Tentunya dengan Bram yang masih setia mendampingi.

"Apa?" tanya Geina langsung.

"Aku ... aku hanya mau bilang maaf. Maaf untuk semua perbuatanku yang pasti sering membuatmu sakit. Mungkin ini terakhir kita ketemu, karena mungkin kamu juga enggak mau lagi lihat aku," ujar Keenan serius. Tangannya bergerak merogoh saku jaketnya, mengeluarkan sebuah kotak beludru berwarna putih. Bram sontak melotot, tetapi memilih untuk diam dan membiarkan mantan calon istrinya itu menyelesaikan apa yang ingin ia lakukan.

"Aku mau kasih ini. Maaf karena mungkin udah terlambat. Cincin ini udah lama kubeli, tapi belum sempat kukasih ke kamu. Aku mohon kamu mau nerima ini sebagai permintaan terakhirku ke kamu."

Geina melirik ke arah Bram yang hanya diam dengan raut wajah yang sedikit kesal. "Maaf, tapi aku gak bisa nerima itu. Kamu tau, kan, kalau aku mau nikah? Aku juga enggak mau terikat sama masa lalu."

Keenan meringis. "Aku enggak bermaksud mau deketin kamu lagi. Aku juga tau kalau kamu enggak mungkin bisa balik lagi ke aku. Aku cuma mau ngasih barang yang harusnya emang aku kasih ke kamu sejak dulu."

Geina tampak berpikir sejenak. Namun lagi-lagi ia tidak ingin ada sesuatu yang mengikatnya dengan masa lalu. "Maaf, Ken. Aku ingin menghargai perasaan mas Bram. Aku enggak bisa nerima itu. Lebih baik kamu kasih ke calon istrimu nanti."

Keenan tersenyum kecut. Ia menghembuskan nafas pasrah dan mengangguk paham. "Tapi kayaknya aku enggak minat menjalin hubungan lagi."

Geina langsung melotot. "Kamu ... gay?" tanyanya dengan suara pelan.

Keenan langsung tertawa. "Enggak. Aku masih normal. Tapi aku enggak berminat menjalin hubungan lagi."

Bram sontak tertawa pelan. "Bukan enggak minat, tapi belum nemu yang cocok. Sabar, Bro. Pasti suatu saat akan ada perempuan yang bisa buat Lo jatuh cinta."

Keenan kembali menghembuskan nafasnya. "Semoga, ya."

***

"Senyum, dong, Pak. Gantengnya ilang lho kalau cemberut terus." Geina terkikik pelan melihat tingkah Bram yang seperti anak kecil. Hanya karena Keenan memeluknya sebelum pergi tadi, membuat Bram terus saja menggerutu hingga saat ini mereka akan pulang.

"Aku enek lho lihat kamu cemberut terus," ujar Geina mencoba kembali membujuk Bram yang tampak menghiraukannya dan memilih fokus menatap jalanan.

"Ya udah jangan lihat," ujarnya ketus.

Geina kembali terkikik geli. "Ya udah. Aku lihat cowok lain aja yang murah senyum dan masih muda. Pasti lebih kuat ya mereka."

Bram sontak langsung mengerem mobilnya hingga membuat Geina terpelanting ke depan. Untung saja ia memakai sabuk pengaman.

"Bapak tuh gimana, sih. Untung aja enggak ada kendaraan lain di belakang."

Bram tidak menghiraukan ucapan Geina. Ia justru malah meminggirkan mobilnya dan berhenti di sana.

"Kamu bilang apa tadi?" tanya Bram menatap Geina.

"Untung aja enggak ada kendaraan di belakang kita. Kalau ada pasti-"

"Bukan yang itu. Sebelumnya," tuntut Bram tak sabar.

Geina tampak mengingat-ingat. Setelah mengingat apa yang ia ucapkan tadi, ia mengerling jahil ke arah Bram. "Saya mau lihat cowok yang murah senyum, lebih muda, dan lebih kuat," ujar Geina menggoda.

"Kuat apa?" tuntut Bram. "Kamu meragukan kekuatan saya? Justru duda lebih kuat dan tahan lama."

Geina menahan senyumnya. "Lho lho, Bapak ini mikirnya ke mana? Maksud saya kuat menahan emosi. Bapak malah mikirnya yang aneh-aneh."

Bram menipiskan bibirnya. "Jangan menggoda saya, Geina," ujar Bram serak. Hal itu membuat Geina mulai panik. Sepertinya menggoda Bram di tempat sepi merupakan hal yang sangat berbahaya.

"Ya udah, yuk, Pak. Kita pulang," ajak Geina akhirnya.

Bram tidak menyahut ataupun bergerak. Tatapannya masih luruh menatap Geina. Ekspresinya membuat Geina mulai takut. Dan tak menunggu lama, bibir Bram kini sudah menempel di bibir Geina.

Geina yang terkejut tak merespon apa yang dilakukan oleh Bram. Namun karena terbawa suasana, Geina akhirnya terbuai dan mengikuti apa yang Bram lakukan kepadanya.

"Pak ... udah. Nanti dilihat orang." Geina mencoba mendorong Bram, namun pria itu malah semakin memperdalam ciumannya.

Hingga beberapa detik kemudian, suara ketukan di jendela mobil menghentikan mereka berdua.

Geina mendorong Bram agar berhenti. Bram yang menyadari ada orang dari luar yang memperhatikan mereka sontak juga ikut berhenti. Dengan perasaan campur aduk, Bram membuka pintu mobilnya.

"Anak-anak zaman sekarang, ya. Mesum enggak modal. Mau ikut saja ke kantor kepala desa atau kami seret keliling kampung?"

Sen Kanan Belok ke Hatimu (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang