Bab 12 - Pilih

39 13 0
                                    

Sudah habis kalimat yang Seinna ucapkan ketika sebuah suara datang dari setiap sudut gedung, raut wajah gadis itu masih belum lepas dari ketegangan yang meraba, seisi ruangan tertahan dengan saling pandang atas siaran pengumuman yang dikumandangkan. Kedua nama itu disebutkan begitu jelas, lengkap dengan asal kelas yang seolah dinyatakan gugur dalam sebuah permainan. Eliminasi, kata itu mampu mengusik setiap kepala.

"A-apa? apa yang terjadi?" tukas Seinna dalam tatapannya yang tak tenang. "Apa yang baru aja suara itu katakan?" ia sulit untuk berpikir jernih kala itu, lutut kakinya melemas tak mampu untuk berdiri tegap.

"Eliminasi, dalam keberlangsungan hidup manusia, eliminasi dibutuhkan untuk mempertahankan keseimbangan fisiologis melalui pembuangan sisa-sisa metabolisme, sehingga apabila hal tersebut terganggu maka akan mempengaruhi keseimbangan dalam tubuh dan mengganggu kelangsungan hidup manusia," papar Thea dari mejanya, hanya suara cewek itu yang terdengar menguasai ruangan. "Maksudnya, semua hal yang bisa memicu terjadinya gangguan yang gak diinginkan, maka semua itu harus disingkirkan atau dieliminasi," jelasnya.

"Gua masih gak paham, rasanya semua ini... semua ini gak masuk akal di otak gua," keluh Seinna ketika pikirannya terus bergelut dengan fakta, tubuh lemas itu mendarat duduk di kursi cukup keras, ia sibak rambut bergelombangnya ke belakang.

"Sekali lagi ini cuma game, wajar dong kalau sebuah permainan ada sesi eliminasi kayak gini?" seperti sebelumnya, Lizal kembali mencoba untuk menenangkan situasi. "Ada sang pemenangan, karena itulah ada pula yang harus gugur dalam permainan," sambungnya.

"Dan karena alasan lo barusan itu, kayaknya kita juga harus mengeliminasi salah satu teman kita di kelas ini." tetap dengan angkuhnya, kalimat itu keluar dari mulut Sebastian. "Sebab, ada pencuri yang menjadi pengganggu, gua gak mau kali mati karena salah sasaran."

"Maksud lo... tulisan di kertas itu?" setelah bungkam cukup lama, kini Gwen angkat bicara.

"Ya menurut lo? emang lo mau mati duluan?" sahut Sebastian.

"kalau gitu kita lakuin, kita buktiin kalau gak akan terjadi apa-apa, karena ini hanya permainan biasa yang anak-anak usia sembilan tahun pun bisa memainkannya," tanpa menjawab pertanyaan Sebastian, cowok berkacamata itu melangkah untuk berdiri sejajar dengan Juan di depan kelas, sembari menatap teman sebayanya. "Kita masih ada satu video yang belum kita tonton, mungkin dari sina kita bisa tau siapa yang harus dieliminasi, bener gak?" kalimat itu berujung dengan tatapan yang ia sampaikan pada Lizal di sebelahnya.

Isyarat itu berlabuh dengan tepat, kala itu pula cowok berompi di luar seragam putihnya itu memutar video ke dua. Beberapa pasang mata penasaran, kecuali Juan dan Gwen kini kembali terfokus pada adegan yang ditampilkan, tak sepenuhnya dari awal ketika satu persatu penghuni ruang kelas XII IPA 4 masuk, video itu menampilkan detik di mana adu mulut antar satu sama lain tengah berlangsung hebat.

Saling tuduh dengan raut wajah emosi tak luput dari tangkapan kamera pengawas yang bertengger di ketinggian sudut ruangan, bahkan kecemasan Sebastian dalam rekaman itu mampu menjadi titik fokus utama. Angka-angka yang berada di sudut layar terus berganti sepanjang video yang masih berputar, tak ada yang mencurigakan disepanjang salinan rekaman kamera pengawas itu. Sampai sebuah suara yang berucap memecah keheningan.

"Hentikan videonya!" cetus Saka yang langsung mendapat respon cepat dari Lizal.

"Ada apa?" tanya Gwen antusias, meninggalkan posisinya berdiri yang tak jauh dari Juan untuk ikut serta menatap tampilan pada layar.

"Coba kalian perhatikan meja di sebelah Lady berdiri." di antara tubuhnya yang terhimpit, Saka menunjuk arah layar kamera itu. "Bukankah dari awal video coklat itu emang gak ada di meja Zara ya?" imbuhnya menatap yang lain.

Night Of HappinessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang