Bab 9 - Dapatkan

73 18 1
                                    

Dari ambang pintu Angga cowok pemilik predikat ketua kelas IPA 3 itu mengedarkan pandangan ke segala sisi untuk memastikan jika tak ada lagi temenannya yang tertinggal hingga ia memutuskan untuk menutupnya dengan secepat kilat, ia berbalik dan bersandar lemah pada daun pintu seraya memijat pelipisnya yang terasa berat.

"Gimana ini? apa yang harus kita lakukan?" tanya cowok berompi di balik seragamnya mengiringi Angga yang melangkah ke tengah ruangan.

Berdiri di dekat kotak putih itu Angga sekali lagi merasakan kengerian yang merambat di seluruh tubuh saat isi dari hadia spesial melintas dalam ingatan, bahkan masih jelas bentuk dan aroma yang tertinggal di kepalanya. Ia sulit berpikir jernih saat satu potongan lengan lengkap dengan kelima bagian jari masih melayang bebas menguasai benaknya, sensasi mual sesekali Angga rasakan.

"Apa kita harus tetep diem kayak gini?" tukas cewek bercardigan coklat muda itu. "Sementara... potongan tubuh itu berada di hadapan kita," sambungnya seraya menunjuk tepat ke arah kotak dengan tutupnya yang sedikit terbuka menampakkan jari jemari tanpa pemilik.

Raut wajah ketakutan mereka ciptakan karena cemas yang tengah menyelimuti seisi ruangan, seluruh siswa dibuat bungkam beribu kata tanpa mampu mengutarakan apa yang tengah mereka pikirkan. Hening seolah menguasai kelas XII IPA 3 hanya terdengar pantulan bola kasti yang sedang dimainkan oleh seorang siswa yang duduk di lantai, suaranya hadir berulang kali seakan memperolok mereka untuk terus berpikir.

"Kita gak bisa diem aja kayak gini, kita harus kasih tau semuanya biar kita gak mikirin ini sendirian," usul cowok yang duduk di sisi meja memecah keheningan.

"Iya... lagian ini bukan tanggung jawab kita juga," sosor cowok yang berdiri di sebelahnya.

"Atau gak lempar aja kotak itu keluar jendela, hari udah gelap gak bakal ada yang tau juga," timpal cewek berambut gelombang di sisi lain.

Ketukan bola kasti tak berhenti suaranya tetap mengisi keributan yang terjadi sampai akhirnya pemilik bola itu berdiri setelah ia menghentikan iramanya. Yuri, cewek yang mengenakan celana panjang olahraga di dalam rok pendeknya itu beranjak dari tempat ia bersandar sembari memainkan bola di kedua tangan, potongan rambut yang benar-benar pendek memberi kesan tomboy pada siapapun yang pertama kali melihatnya.

"Hentikan omong kosong kalian, bukan waktunya kalian saling berlagak sok pintar," cibir cewek itu ketika ia sampai di dekat kotak. "Sekarang kita harus mencari cara agar cepet keluar dari sekolah ini," ungkapnya kesal.

"Emang lo punya ide?" sosor cewek bercardigan itu.

"Ide sih gak ada, tapi kita harus ikuti permainan ini dulu, kita cari maksud dari petunjuk itu," sahut Yuri sembari berbalik pada kotak putih di atas meja. "Caranya dengan mencarinya di dalam kotak ini."

Tak ada aba-aba Yuri membuka penutup kotak tanpa rasa jijik sedikitpun, ia disambut dengan aroma amis yang menyeruak menusuk indera penciumannya. Cewek itu mengulas senyum saat menatap potongan satu lengan di dalam sana, sedangkan teman sekelasnya saling beringsut hampir bersamaan membuang muka seraya membatasi aroma itu untuk terhirup dengan telapak tangan bahkan tak sedikit yang mual kala itu pula.

Yuri membuang bagian tutup ke segala arah dengan tatapannya yang masih terpana pada organ tubuh berbalut cairan merah kental itu. Ia mengangkatnya sejajar dengan bola mata yang terbelalak liar, mengamati setiap sisi untuk mencari jawaban yang belum pasti ia dapat. Lengan dingin itu diletakkan di atas meja setelah ia tepis kotak dari posisinya, darah telah menguasai jari jemari Yuri yang menari di setiap baginya sampai pada akhirnya ia temukan titik yang dicari, terdapat goresan panjang yang dibuat di bagian lengan dalam, seperempat dari mata pisau yang seolah membuat luka itu.

Seperti halnya ia yang menyembunyikan contekan di antara kulit Yuri mengoyak luka itu untuk terbuka lebih lebar dan dengan jari telunjuknya ia menemukan sebuah gulungan kertas di bagian dalam. Cewek itupun mengeluarkannya dengan darah yang menyelimuti, kali ini perhatian Yura tersita pada gulungan kecil dalam genggaman. Seraya berbalik ia mulai membukanya dengan ritme gegabah, seluruh pasang mata menatap apa yang tengah Yuri buka dengan tangan penuh darahnya.

"Jangan pernah meninggalkan hadiah spesial kalian jika tidak ingin mati, karena semuanya sedang mengincar itu untuk tetap hidup."

Yuri membaca kalimat yang ia temukan dari secarik kertas itu dengan lantang namun bukan kepuasan yang mereka dapatkan, melainkan pertanyaan baru yang sekali lagi mengusik isi kepala. Pernyataan itu membuat bingung seisi ruangan begitu pula dengan Yuri sang pahlawan kesiangan.

***

"Hadiah pertama adalah hadiah kedua... hadiah pertama adalah hadiah kedua... hadiah pertama adalah hadiah kedua...."

Sembari melangkah ke sana kemari dengan gusar Chio mengumumkan berkali-kali mantra untuk menemukan petunjuk yang belum terjawab, seisi kelas terdiam satu sama lain dalam posisinya. Berusaha untuk menghilangkan cemas Freya mengikis kuku ibu jari dengan gigi dalam rangkulan Selyn yang menepuk pundaknya. Dari meja paling depan Geo duduk di antara Lizal dan Sebastian sembari terus memandang kotak itu, benaknya pun tak lepas dari kalimat yang Chio kumandangkan.

Seakan tak ingin tahu Brian hanya duduk di mejanya sembari mengayunkan kursi, bersandar pada sisi dinding jendela Juan mengambil arah pandang yang sama dengan Geo. Tak ada yang menyentuh sama sekali kotak di tengah ruangan itu semenjak mereka masuk ke dalam kelas beberapa saat lalu saat pintu yang kini tengah Farez sandari dengan duduk di lantai.

"Pasti ada sesuatu di kotak ini." Gwen beranjak dari tempat duduknya di sisi meja bersama dengan kalimat yang terucap, meninggalkan cowok berkalung headphone itu. "Kita hanya perlu mencarinya," sambungnya ketika sampai di balik kotak.

"Coba buka penutupnya, siapa tau ada sesuatu yang membantu," tukas Juna.

Atas saran yang ia dapat Gwen pun membuka tutup kotak putih itu dan membaliknya, namun tak ada apa pun yang ia dapatkan. Cowok berkaca mata itu menunjukkannya pada yang lain dengan tatapan hampa, satu percobaan tanpa hasil. Setelah itu ia meletakkan penutup di atas meja tepat di sebelahnya, Gwen membawa masuk pandangan ke bagian dalam mengidentifikasinya beberapa saat, hanya kekosongan yang mampu ia temukan.

Geram dengan kegagalan cowok itu pun menepis kotak di hadapannya hingga terpelanting jatuh, sampai mendarat di lantai setelah melayang berberapa saat di udara. Setelah bermanuver dalam hitungan jari benda putih itu berhenti tak jauh dari posisi cowok yang tengah menyandarkan bagian belakang kepalanya pada daun pintu.

"Tunggu sebentar," ucap Farez disusul dengan menegakkan punggungnya berusaha meraih kotak. "Ada sesuatu di bawah sini," imbuhnya seraya berdiri bersama benda yang ada dalam genggaman.

Atensi seisi kelas mampu cowok beralmamater itu dapatkan secara bersamaan, mereka saling menegakkan posisi sembari memandang antusias pada Farez yang tertunduk menatap kotak yang ia balik, mendapati hal itu Chio bergabung dengan titik yang Farez tatap ia berdiri di sebelahnya.

"Ada apa?" tanya Chio yang langsung menemukan sudut pandang temannya itu.

"Kalian pernah di sini dalam waktu yang lama secara bersamaan, ada kursi pertama yang kalian duduki, tempat apakah aku?"

Farez membaca tulisan yang terlampir di bagian bawah kotak dengan lantang seolah ia ingin semunya mendengar. Habis dengan kalimatnya ia mengangkat pandangan menatap Chio yang sedetik kemudian beralih pada seluruh teman-temannya di kelas. Ketika jawaban adalah pertanyaan sekali lagi itu membuat semua siswa bingung, tak ayal keheningan kembali menyita ruangan tanpa memperdulikan langit yang semakin menghitam.

***

"Ternyata kalian memang anak-anak yang pintar," gumam manusia yang masih duduk di ruangannya sembari menatap layar monitor.

Ketujuh kamera pengawas yang dipasang di setiap ruang kelas dua belas mempertontonkan bagaimana para siswa menemukan petunjuk dari teka-teki itu. Seakan menikmati pertunjukan manusia berpakaian serba hitam dengan topeng yang ia lepas di sisi meja itu begitu menikmati setiap adegannya. Sesekali ia memainkan kursi putar ke kanan dan ke kiri secara berkala, tetapi terkadang ia kembali menggeretak jari jemarinya pada alas meja saat adegan menegangkan tengah menjadi tontonannya.

"Selamat bersenang-senang!" suara berat itu kembali berucap.

Night Of Happiness
~Chameleon21

Night Of HappinessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang