Bab 17 - Melepas Jeritan

56 11 0
                                    

Asap kian membumbung tinggi memerangkap para penghuni dalam lingkar kematian, porak-poranda mereka berlarian menuju satu arah yang tak bisa dibuka dari dalam tanpa menghiraukan tubuh yang kehilangan kepalanya, sepatu putih yang mereka kenakan penuh dengan bercak darah yang menciprat dari genangannya. Didobrak sekuat tenaga penuh harap namun pintu tetap kukuh tertutup tak menunjukkan cela sedikitpun, ketakutan menjelma serupa gas yang semakin luas menyebar.

Jeritan beradu dengan nyeri yang menyela bersama kerongkongan yang terasa kering, sensasi tercekik menghalangi pernafasan sampai menghasilkan batuk kasar di tenggorokan. Pintu terus didobrak tanpa patah arang sekalipun tak menunjukkan keberhasilan, ruang auditorium kian kacau dikala megafon kembali mengeluarkan suara.

"Aaaaa ...."

"TOLONG!"

"TOLONG KAMI!"

Teriakan serupa saling bersahutan dari pengeras suara menghentikan langkah gusar berlarian hingga usaha untuk membuka pintu keluar. Kalimat-kalimat permohonan dan permintaan tolong terus dikumandangkan sang pemilik suara ketakutan tanpa wujud itu.

"LEPASKAN KAMI!"

"MAAF... MAAFKAN KAMI!"

"MOHON LEPASKAN KAMI!"

Isak tangis turut hadir di setiap jeritan yang menggema begitu jelas membuat pendengar bergidik penuh kengerian. Senyawa kimia berupa gas menyembur tanpa henti dari setiap sisi, membuat para siswa harus menghalangi indra penciuman untuk menghirupnya.

"Ada tapi tiada, kau memilikinya tapi tak menginginkannya, tak bisa direbut atau diberikan, mungkin dibagi namun tak akan sama." di antara teriakan, satu suara pilu gadis dalam isak tangis memunculkan kalimat berbeda yang ia ucapan dengan nada gemetar.

"Itu ... itu pasti pertanyaannya!" seru Alex menyita perhatian

"Ada tapi tiada, kau memilikinya tapi tak menginginkannya, tak bisa direbut atau diberikan, mungkin dibagi namun tak akan sama."

"Gua ngerasa gak asing sama suara itu," ucap Ellen di tengah kerumunan siswa seraya menerka. "Seinna, iya Seinna di mana dia?" pertanyaan itu ia tujukan pada Lucia yang hanya terdiam di sebelahnya.

"Hei semuanya ... kita harus pecahin teka-teki ini, agar kita bisa cepet keluar!"

Alex menyadarkan setiap siswa untuk fokus menjawab pertanyaan walaupun distraksi dari teriakan dan asap yang kian melimpah mengacaukan segalanya. Ia menatap seisi auditorium berharap ada suara yang mengutarakan pendapat atas jawaban, waktu tak banyak lagi sampai ruangan dipenuhi gas beracun.

"Pikirkan saja sendiri selagi kita mendobrak pintu!" bukan jawaban melainkan bantahan yang terlontar di antara kerumunan sisi pintu.

Tak menghiraukan instruktur dari mantan ketua osis para remaja berseragam itu malah melanjutkan usahanya untuk membuka pintu, semangat yang membara seakan hanya tercipta sia-sia. Sulit dipungkiri untuk tak mengizinkan gas menyeruak hingga ke indra pernafasan, lengan yang menghalangi tak mampu menahannya. Gas yang terhirup mempengaruhi pembuluh darah untuk menyempit sehingga mengganggu cara kerja jantung, sesak nafas menjadi poin terakhir yang dirasakan setiap individunya. Masih dalam dekapan Selyn gadis berambut poni lurus itu hampir kehilangan kesadaran, Freya tak mampu lagi menemukan ujung dari nafasnya seperti kalanya mereka yang tumbang bergantian.

"Frey ... Freya lo kenapa? hei... buka mata lo, gua mohon tetep buka mata lo!" tukas Selyn seraya menopang tubuh Freya yang lemas, penuh kecemasan ia menepuk-nepuk pipi temannya itu. "Freya bangun... bertahanlah sedikit lagi, hei bangun ...."

Tak ada sahutan dari ucapan Selyn karena yang ia dapatkan hanya berupa upaya untuk tetap hidup dalam tarikan nafas yang tersengal-sengal. Nyawa telah berada di ujung tanduk usaha Freya untuk tetap sadar telah usai setelah tarikan nafas terakhir, tubuh gadis itu tak lagi bergerak dalam pangkuan Selyn yang terbatuk. Tak ayal dari berbagai sisi satu persatu siswa tumbang kehilangan hidupnya, jeritan kian histeris dari segala penjuru auditorium.

Night Of HappinessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang