54

7K 756 41
                                    

***

Kaia berdiri di depan sebuah rumah sederhana berlantai dua. Taman rumah itu cukup terawat meskipun tidak terlihat begitu rindang. Semuanya tertata dengan baik. Ia melihat sebuah mobil sedan hitam yang terparkir di garasi. Hanya lima langkah dibutuhkan kaia untuk masuk ke dalam pekarangan rumah.

Gadis itu menekan bel pintu setelah memastikan nomor rumah yang ada di pintu sama dengan yang tercatat di kertas yang Pangestu salim berikan kepadanya. Kaia mengambil langkah nekat. Setelah mendapat kabar bahwa Prabas sakit, Kaia menggunakan waktu luangnya untuk berkunjung di hari selanjutnya. Kaia mencoba menghubungi pria itu di malam harinya, namun tidak satu pun panggilannya tersambung.

Seorang laki-laki membukakan pintu untuk Kaia. Gadis itu mengenalnya sebagai salah satu asisten Prabas yang cukup sering berinteraksi dengannya.

"Kaia? Kok bisa di sini?" tanyanya bingung.

"Ah itu... saya diberi alamat oleh Pak Salim untuk berkunjung."

"Oh! Masuk-masuk. Maaf sudah bertanya yang aneh-aneh. Seharusnya tidak boleh ada tamu saat ini, makanya saya agak bingung."

Kaia masuk ke dalam rumah itu dan melihatnya penuh minat. Rumah itu berbeda dengan apartemen milik Prabas yang pernah ia kunjungi. Terasa lebih penuh oleh perabotan. Kaia melewati sebuah dinding yang penuh dengan potret keluarga. Seperti rumahnya yang memiliki satu dinding khusus yang penuh dengan potret keluarga.

"Kaia, sepertinya Pak Prabas masih belum bangun. Dia baru minum obat beberapa jam yang lalu. Jadi ... "

"Ah, tidak apa-apa. Aku bisa nunggu. Aku nggak ada jadwal apa-apa hari ini. Um... tapi apa boleh saya tunggu di dalam kamar?"

"Boleh-boleh. Kamu mau minum apa? Atau ada makanan yang mau kamu makan?"

Kaia menggeleng. Ia tidak ingin merepotkan pria itu lagi. Kaia diantar ke dalam kamar milik Prabas yang lebih luas. Tirai-tirai tinggi dibuka lebar. Seluruh dinding kaca dibuka agar angin segar masuk. Cahaya terang membuat ruangan itu lebih panas meskipun pendingin ruangan telah dinyalakan.

"Kaia, kalau butuh apa-apa bilang saja ya. Saya ada di depan."

"Baik, pak. Terimakasih banyak."

Setelah asisten Prabas meninggalkannya, kaia berjalan ke arah jendela dan menarik tirai tipis bagian dalam untuk melindungi Prabas agar tidak langsung terkena matahari. Gadis itu duduk di sebuah sofa yang berada di dekat ranjang. Mungkin digunakan Pangestu Salim untuk mengawasi cucunya.

Kaia melihat cairan infus yang tergantung. Pandangannya beralih pada nampan di atas nakas yang berisikan beberapa jenis botol obat. Kaia yang penasaran membaca nama obat-obat itu. Anti depresan, anti nyeri, antibiotik, vitamin, dan obat yang tidak ada penjelasannya. Kaia melihat sekelilingnya penuh minat. Ia menatap apa pun yang ada di sekelilingnya kecuali Prabas yang tidur tenang di atas ranjang.

Ada perasaan aneh di dalam hatinya. Seperti jika dia melihat wajah Prabas yang tertidur, kaia akan menumpahkan air matanya. Kaia sudah lama menggigit pipi bagian dalamnya untuk menahan diri. Sejak melangkah masuk, ia mencoba mengalihkan perhatiannya dengan melihat hal lain selain Prabas.

Namun mau sekeras apapun tekadnya untuk tidak melihat Prabas, tujuan awalnya berkunjung sendiri adalah untuk melihat pria itu. Kaia menunduk dan melihat kedua mata yang terpejam dengan tenang. Ia bahkan harus menghela napas berat untuk menguraikan ikatan erat di hatinya.

"Kamu kan pria dewasa. Kenapa mudah sekali sakit? Ini nggak adil, Bas. Kamu curang. Kalau kamu pakai kartu sakitmu, bagaimana caranya aku menghindar?"

Kaia naik ke atas ranjang untuk menggenggam tangan Prabas yang tidak diinfus. Kaia mengusap punggung Prabas dengan lembut. Ia bisa merasakan dinginnya tangan itu. Tangan besar yang selalu hangat itu terasa kaku dan dingin. Kaia jadi menyesal sudah menepis tangan ini berkali-kali.

Jangan Bilang Papa! (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang